Senin, 07 Februari 2011

REENSI BUKU FILSAFAT (Jujun S. Suriasumantri "Sebuah Pengantar Populer")

Diresensi oleh :
MUSHYANUR, S.Pd

IDENTITAS BUKU



FILSAFAT ILMU
Sebuah Pengantar Populer


Oleh : Jujun S. Suriasumantri
Dengan Kata Pengantar : Andi Hakim Nasution


ISBN 978-979-416-899-8
84 UM 02


Disain sampul : Natasa T



Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan,
Anggota IKAPI Jakarta



BIOGRAFI PENULIS

JUJUN SUPARJAN SURIASUMANTRI
Lahir di Tasikmalaya tanggal 9 April 1940. Setelah melalui pendidikan SD V, SMP III dan SMA II yang semuanya berada di Bandung, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB), dan lulus dalam tahun 1969. Selama menjadi mahasiswa aktif dalam berbagai kegiatan nonkeilmuan seperti ketua teater, sutrdara drama, ketua MAPRAM IPB, dirigen orkes angklung IPB dan aksi-aksi mahasiswa. Pada tahun 1971 melanjutkan studi ke Harvard University dengan beasiswa Unesco dan lulus sebagai doctor dalam Perencanaan Pendidikan dengan spesialisasi system analisis dan PPBS dalam tahu 1975.
Pengalaman dalam pekerjaan antara lain sebagai teaching assistant (1972) dan research assistant (1973) di Harvard University, dosen tataniaga (1969-1971) dan manajemen (1975-1980) di IPB, staf ahli pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P dan K (1975-1980) dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Panitia Penyusunan Rencana Strategi (1976) dan Repelita – II (1976-1978) Depdikbud, anggota Kelompok Kerja bidang Kebudayaan Mendikbud (1984), anggota kelompok kerja Pengumpulan Materi GBHN 1988, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1985) serta dosen Metodologi Penelitian di Sekolah (sejak 1981) dan Lemhannas (sejak . 1982). Sekarang menjabat sebagai Pembantu Rektor bidang Akademik dan Ketua Program dokto Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta.
Buku yang telah diterbitkan adalah ilmu dalam perspektif (Jakarta: Gramedia, 1978), System Thinking (Bandung: Binacipta, 1981) dan A Lesson from Experience (Bandung : Binacipta, 1984). Keanggotaan professional teramsuk Operations research Society of America (ORSA), Phideta Kappa, International Society of Educational Planner, the institute of management Science dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu social.
Menikah dengan Nina Dachliana dan berputra Donni Iqbal Suriasumatri.



Dengan kecintaan yang sama
Kutulis sajak-sajak
Bagi profesor-profesor metafisika

Seperti kesungguhan
Membualkannya

Pada seorang kanak-kanak..........


(Jujun S. Suriasumantri, ”A Gift of Love”,
Alma Mater, majalah Keluarga Mahasiswa
IPB, Nomor 6, April 1970.


Dalam buku yang ditulis Jujun Suparjan Suriasumantri ini, ia menujukan kepada :

Profesor Arthur Smitheis (Harvard University) dan
Donnial Iqbal Suriasumantri (Taman Kanak-Kanak Bhakti Idhata, Cilandak Kebayoran Baru, Jakarta).


I
KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT


Pada bagian ini dijelaskan bahwa seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri dipuncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berfikir filsafat adalah bersifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam kontelasi pengetahuan lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral,. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.

Sering kita melihat ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama, dan nilai estetika. Mereka, p;ara ahli yang berada di bawah tempurung disiplin ilmunya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang : Loh, kok masih ada langit di luar tempurung kita. Lalu kita pun menyadari kebodohan kita sendiri. Yang kita tahu simpul sokrates, ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa!

Kerendahan hatian Sokrates ini bukanlah verbalisme yang hanya sekedar basa-basi. Seorang yang berfikir filsafati bukan hanya tengadah ke bintang-bintang tapi ia juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berfikir fils afati yang kedua yaitu bersifat mendasar. Dia tidak lagi percaya bahwa ilmu itu benar mengapa ilmu dapat disebut benar ? bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan ? apaka kriteria sendiri itu benar ? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus memulai dari satu titik, yang awal dan pun yang sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan tiitik awal yang benar?

Filsafat, menjamin pemikirankan Will durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantreri. Pasukan infanteri ini aadalah sebagai petahuan yang di antara-nya adalah ilmu. Filsafatlah yang mmenagkan tempat barpijak elah bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun pergi. Dia kembali menjelajah lat lepas.; berspekulasidan meneratas. Seorang yang skeptis akan berkate: sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkah pun dia tidak maju. Sepintas lalu kelihatanya memang demikian, dan kesalah pahaman ini dapat segera dihilangkan , sekiranya kita sadar bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan ponir, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci.Filsafat menyerahkan daerah yang pengembanganya bermula sebagai filsafat. Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum filsafatnya sebagai philosophae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The wealth of Nations (1776) dalam fungsinya sebagai professor of moral philoshopy di Universitas Glasgow.

Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural phisolophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terjadi peralihan. Dalam taraf peraliha ini maka bidang penjelajahan filsafat ini menjadi lebih sempit. Tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Di sini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan bahkan dikaitkan dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya dan kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi. Walaupun demikian dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan kepada norma-norma filsafat. Upamanya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethic) dalam kehidupan manusia dalam memenuhi hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif berdasarkan asas- asas moral yang filsafati.

Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pioni dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok : terjawab masalah yang satu, dia pun mula merambah dengan pertanyaan lain. Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logka), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang filsafat ini bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada : tentang hakekat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan, kedua, poloitik : yakni kajian mengenai organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal. Kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik di antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup :
(1) Epsitemologi (Filsafat Pengetahuan)
(2) Etika (Filsafat Moral)
(3) Estetika (Filsafat Seni)
(4) Metafisika
(5) Politik (Filsafat Pemerintahan)
(6) Filsafat Agama
(7) Filsafat Ilmu
(8) Filsafat Pendidikan
(9) Filsafat Hukum
(10) Filsafat Sejarah
(11) Filsafat Metematika


II
DASAR – DASAR PENGETAHUN


Dijelaskan bahwa dasar-dasar pengetahuan yaitu :

PENALARAN
Penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya yang bersumber dari pengetahuan yang didaptkan lewat merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan, meskipun dikatakan pascal, hatipun memliki logika tersendiri.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilakn pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses peemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing.





Defenisi
Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuannya itu. Dia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia selalu hidup dalam pilihan.
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dan memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidupnya, namun lebih dari pada itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; memberi makna bagi kehidupan; manusia memanusiakan” diri dalam dalam hidupnya. Intinya adalah manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama;
a. Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.
b. Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar.

Hakikat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun berbeda-beda dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika, dan tiap penalaran mempunyai logika tersendiri atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis, dimana berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu. Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari suatu pola berpikir tertentu.

LOGIKA
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir ituharus dilakukan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefenisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih.”1 Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran maka hanya difokuskan kepada dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan bersifat umum. Sedangkan logika deduktif, menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umu menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).



a. Induksi
Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik dari suatau kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individu. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang bersifat khas dan dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya karena mempunyai dua keuntungan.
• Bersifat ekonomis.
• Dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya.

b. Deduksi
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebalikny dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pertanyaan dan satu kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Jadi ketepatan penarikan kesimpulan tergantung pada tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang akan ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif.

SUMBER PENGETAHUAN
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu! Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan
ini membawa kita kepada pertanyaan; bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasionil itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori
dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional. Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak namun lewat penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra.
Disamping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan secara rasional dan empiris, kedua-duanya merupakan induk produk dari sebauh rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba mendapat jawaban atas permasalah tersebut. Tanpa melaui proses berliku-liku dia sudah mendapatkan jawabannya.. intuisi juga bisa bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan jawabannya tidak pada saat sesorang
itu secara sadar sedang menggelutinya. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak dapat diandalkan. Pengetahuan inuitif dapat digunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya suatu penalaran.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah yang bersifat transedental kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai suatu pengantara dan kepercayaan
terhadap suatu wahyu sebagai cara penyampaian merupakan titik dasar dari penyusunan pengetahuan ini.. kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatau pernyataan harus dipercaya dulu baru bisa diterima. Dan pernyataan ini bisa saja dikaji lewat metode lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung didalamnya konsisten atau tidak.di pihak lain secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut.

KRITERIA KEBENARAN
Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu ada beberapa teori yang dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran. Yang pertama adalah teori koherensi. Teori ini merupakan menyatakan bahwa pernyataan dan kesimpulan yang ditarik harus konsinten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang dianggap benar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdsarkan teori koherensi suatu pernyatan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdsarkan teori koheren. Paham lain adalah kebenaran yang didasarkan pada teori korespondensi. Bagi penganut teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang menyatakan bahwa “ ibukota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat factual yakni Jakarta memang ibukota republik Indonesia.
Teori Pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1924) dalam sebuah makalah yang terbit tahun 1878 yang berjudul “How to make Our Ideas Clear.” Teori ini kemudian dikembangkan oleh para filsuf
Amerika. Bagi seorang pragmatis, kebenaran suatau pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungisional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan umat manusia. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungisional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran dilihat dari perspektif waktu.



III
ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI



Pada bagian ini telah dijelaskan :

METAFISIKA
Beberapa Tafsiran Metafisika

Tafsiran yang paling utama yang diberikan manusia terhadap ala mini adalah bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (super-natural) dan uju-ujud ini lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan aliran kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernatulisme diman manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat goib yang terdapat pada benda-benda seperti batu, phon dan air terjun. Animisme ini merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan budaya manusia dan masih dipeluk oleh masyarakat di muka bumi.

Sebagai lawan dari supernatulisme, maka terdapat pula paham naturalism yang menolak pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat super-naturalisme ini. Materialism, yang merupakan paham berdasarkan naturalism ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.

Perinsip-perinsip materialism ini dikembangkan oleh Democritos (460-370 S.M). Dia mengembangkan materi tentang atom yang dipelajarinya dari gurunya Leucippus. 2). Bagi Democritos unsure dasar dari ala mini adalah atom.

ASUMSI
Salah satu permasalah didalam dunia filsafat yang menjadi perenungan para filsuf adalah masalah gejala alam. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam
yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan pilihan bebas, ataukah keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik? Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistik merupakan permasalahan filasafati yang rumit namun menarik.. tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik. Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ini maka semua pembicaraan akan sia-sia. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar peserta, gejalanya berulangkali dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil yang sama, yang dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum seperti itu
berlaku kapan saja dan dimana saja. Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang mentyatakan bahwa semua manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hokum alam yang tidak memberikan pilihan alternatif. Untuk meletakkan ilmu dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri apakah yang sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia seperti yang dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka ? Atau bahkan mungkin kita tidak mempelajari hal-hal yang berlaku umum melainkan cukup mengenai tiap individu belaka?

Konsekuensi dari pilihan adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum dari kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat probabilistik. Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak dan berfilsafat. Sekiranya ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realitas untuk dicapai ilmu? Sekiranya Ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu? Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu maka khasanah pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang bersifat universal saja. Demikian juga, sekiranya sifat universal semacam ini disyaratkan ilmu bagaimana kita dapat memenuhinya, disebabkan kemampuan manusia yang tidak mungkin mengalami semua kejadian. Namun para ilmuwan memberi suatu kompromi, artinya ilmu merupakan pengetahuan yang berfungsi
membantu manusia dalam memecahkan kehidupan praktis sehari-hari, dan tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini. Walaupun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi diantara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.

PELUANG
Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.






BEBERAPA ASUMSI DALAM ILMU
Ilmu yang paling termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu lain adalah fisika. Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembuaktian induktif yang
mengesankan. Namun sering dilupakan orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh. Artinya fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara semantik, sistematik, konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang disepakati bersama. Di mana terdapat celahcelah perbedaan dalam fisika? Perbedaannya justru terletak dalam fondasi dimana dibangun teori ilmiah diatasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya. Begitu juga sebaliknya dengan ilmu-ilmu lain yang juga termasuk
ilmu-ilmu sosial.

Kemudian pertanyaan yang muncul dari pernyataan diatas adalah apakah kita perlu membuat kotakkotak dan pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit? Jawabannya adalah sederhana sekali; sekiranya
ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu. Suatu permasalahan kehidupan manusia seperti membangun pemukiman Jabotabek, tidak bisa dianalisis secara cermat dan seksama oleh hanya satu disiplin ilmu saja. Masalah yang rumit ini , seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia, harus dilihat sepotong demi sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai displin keilmuan , dengan asumsinya masing-masing tentang manusia mencoba mendekati permasalahan tersebut. Ilmu-ilmu ini bersfat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan
multidispliner. (Jadi bukan “fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau balau). Dalam mengembangkan asumsi ini maka harus diperhatikan beberapa hal:
1. Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi ini harus oprasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’ bagaimana keadaan yang
seharusnya.” Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang digunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas
lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.





BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan meyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologi ilmu
yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam
menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita
melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah? Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata seorang, Cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu,bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik.




IV
EPISTEMOLOGI : CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR



JARUM SEJARAH PENGETAHUAN
Pada masyarakat primitif, perbedaan diantara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku umpamanya, bisa merangkap
hakim, panglima perang, penghulu yang menikahkan, guru besar atau tukang tenung. Sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang masyarakat maka status itu tetap, kemanapun kita pergi, sebab organisasi
kemasyarakatan pada waktu itu, hakikatnya hanya satu. Jadi jika seseorang menjadi ahli maka seterusnya dia akan menjadi ahli. Jadi kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara satu obyek dengan obyek yang lain. Antara ujud yang satu dengan ujud yang lain.

Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya abad penalaran (The Age of Reason) pada
pertengahan abad XVII.BDengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepadan pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan. Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan paradigma dari Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan. Difrensiasi dalam bidang ilmu cepat terjadi. Secara metafisisk ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan obyek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Perbedaan yang makin terperinci ini maka menimbulkan keahlian yang lebih spesifik pula. Makin ciutnya kapling masing-masing displin keilmuan itu bukan tidak menimbulkan masalah, sebab dalam kehidupan nyata seperti pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang dihadapi makin banyak dan makin njelimet. Menghadapi kenyataan ini terdapat lagi orang dengan memutar jam sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas masing-masing displin ilmu. Dengan dalih pendekatan inter-displiner maka berbagai displin keilmuan dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu ke dalam kesatuan yang berdifusi.

Pendekatan interdispliner memang merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing displin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan routenya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperi logika, matematika, statistika dan bahasa. Setelah perang dunia II muncullah paradigma “konsep sistem” yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengakajian bersama antar displin-keilmuan. Jelaslah bahwa pendekatan interdispliner bukan merupakan fusi antara berbagai displin keilmuan yang akan menimbulkan
anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, dimana tiap displin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telahan bersama.

PENGETAHUAN
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka kita harus ketahui jawaban apa saja yang mungkin diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu yang harus kita ajukan. Sekiranya kita bertanya “ apakah yang terjadi sesudah manusia mati?”, maka pertanyaan itu tidak bias diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab secara ontologis ilmu membatasi diri kepada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangakan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat transedental yang berada diluar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa menjawab pertanyaan itu sebab
ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya memang tidak mencakup permasalahan tersebut.




V
SARANA BERPIKIR ILMIAH



Dijelaskan bahwa Tujuan mempelajari sarana bepikir ilmiah:
1. Sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmu (deduktif dan induktif), sarana berpikir ilmiah tidak menggunkan ini dalam mendapatkan pengetahuannya, melainkan mempunyai metode-metode tersendiri.
2. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaah ilmiah secara baiik, sarana berpikir ilmiah antara: bahasa logika matematika dan statistic.

Bahasa, manusia dapat berpikir dengan baik karena ada bahasa. Simbol bahasa yang bersifat abstrak memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut, bahasa adalah sarana komunikasi. Buah pikiran, perasaan dan sikap, mempunyai fungsi simbolik (komunikasi bahasa ilmiah), emotif (komunikasi estetik), dan ojektif.Bahasa merupakan serangkaian bunyi dan lambang dimana rangkaian bunyi tu membentuk suatu arti tertentu atau rangkaian bunyi=kata (melambangkan satu objek tertentu).
a. Bahasa
Fungsi bahasa secara umum dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Alat komunikasi
2. Alat mengekspresikan diri
3. Alat berintegrasi dan beradaptasi social
4. Alat kontrol social.

Dalam filsafat keilmuan fungsi, memikirkan sesuatu dalam benaktanpa dalam objek yang sedang kita pikirkan, membuat manusia berpikir terus menerus dan teratur, mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan. Komunikasi ilmniah memberi informasi pengetahuan berbahasa dengan jelas bahwa makna yang
terkandung dalam kata-kata yang digunakan dan diungkapkan secara tersusun (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Karya ilmiah: tata bahasa, merupkan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu. Mempunyai gaya penulisan yang pada hakekatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderumgan yang bersifat emosional bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah.
Beberapa kekurangan bahasa antara lain:
1. Sifat multi fungsi dari bahasa itu sendiri (emotif, ajektif, simbolik).
2. Arti yang tidak jelas dan bebas yang ikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa, kadangkadang lingkup rtinya terlalu lemas misalnya cinta, pengelola (usaha kerja sama yang bedominasi).
3. Sifat menjenuh bahasa dapat menimbulkan kekacauan semantic, dimana dua orang berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sama untuk arti yang berbeda.
4. Konotasi yang bersifat emosional.


b. Matematika
Matemtika berfungsi :
1. Matematika sebagai bahasa: melambangkan serangkaian mkna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan.
2. Lambang bersifat “arti fisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.
3. Matematika menutupi kekurangan bahasa verbal ( hanya satu arti = x).

Sifat Kuantitatif Dari Matematika
Kelebihan lain dari Matematikamengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran kuantitatif.
Matematika: Sarana Berpikir Deduktif, yaitu Proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada premispremis yang kebenarannya sudah ditentukan.


VI
AKSIOLOGI : KEGUNAAN ILMU




Mengalami zaman edan
Kita sulit menentukan sikap
Turut edan tidak tahan
Kalau tidak turut edan
Kita tidak kebagian
Menderita kelaparan
Tapi dengan bimbingan Tuhan
Betapa bahagia merekapun yang lupa
Lebih bahag ia yang ingat serta waspada

(Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora Tuhan
Yen tang melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dialah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada)

Ranggawarsita (1802-1873)



ILMU DAN MORAL
Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihasi oleh semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya demi untuk mempertahankan apa yang dianggap benar. Peradaban telah menyaksikan Sokrates dipaksa meminum racunan John Huss dibakar. D sejarah tidak berhenti disini : kemanusiaan tidak pernah urung dihalangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan sekali dalam melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti drengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. ”Segalanya punya moral”, kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, ”asalkan kau mampu menemukannya.” (Adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avoktur intelektual.

TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil-hasil karya itu memenuhi syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagia dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat tersebut. Atau dengaen perkataan lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu bersifat sosial. Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu di mana penemuan seorang seperti Newton atau Edison dapat mengubah wajah peradaban. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif
NUKLIR DAN PILIHAN MORAL
Seorang ilmuan secdara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannnya itu adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa ilmuan telah bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal-soal menyangkut kemanusiaan para ilmuan tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal dalam mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama dan rintangan-rintangan lainnya yang bersifat sosial.

REVOLUSI GENETIKA
Revolusi Genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tiada ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik langsung manusia sebagai objek penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan perkataan lain, uapaya kita diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap pengetahuan yang berkaitan dengan jantung, dan diatas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa alat yang dapat memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan jantung. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi obyek penelahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Apakah perubahan-perubahan yang dilakukan diatas secara moral dapat dibenarkan.


VII
ILMU DAN KEBUDAYAAN



Ilmu hanya dapat maju apabila masyarakat berkembang dan berperadaban.

(Ibnu Khaldun (1332-1406 dalam muqaddimah)


MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan didefenisikan untuk pertama kali oleh E.B Taylor pada tahun 1871, lebih dari seratus tahun yang lalu, dalam bukunya primitive Culture dimana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak sekali. Mendorong Adanya kebuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Manusia berbeda dengan binantang bukan hanya dalam banyaknya kebutuhan namun juga dalam memenuhi kebutuhan tersebut’ kebudayaanlah, dalam konteks ini, yang memberikan garis pemisah antara manusia dengan binatang.






ILMU DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN NASIONAL
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pegembangan kebudayaan nasional merupakan bagian dari kegiatan suatu bangsa, baik disadari atau tidak maupun dinyatakan secara eksplisit atau tidak.

Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu dalam suat masayarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan dipihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu terapdu secara intim dengan keselurhan struktur sosial dan tradisi kebudayaan, kata Talcot Parsons, mereka saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masayarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat teresbut tidak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.

DUA POLA KEBUDAYAAN
Bahwasanya secara sosiologi maka terdapat kelompok yang memberi nafas baru kepada ilmu-ilmu sosial. Mereka mengembangkan apa yang dinamakan ilmu-ilmu perilaku manusia (behavioral sciences) yang bertumpu kepada ilmu-ilmu sosial dimana perbedaan yang utama antara keduanya hanya terletak dalam keinginan untuk menjadikan ilmu-ilmu tentang manusia menjadi sesuatu yang lebih dapat diandalkan dan kuantitatif.
Adanya dua kebudayaan yang tebagi kedalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ini sayangnya masih terdapat di Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan adanya jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita. Sekiranya kita menginginkan kemajuan dalam bidang keilmuan yang mencakup baik ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka dualisme kebudayaan ini harus dibongkar. Pembangkitan jursan berdasarkan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya harus dihilangkan. Adanya pembagian jurusan ini merpakan hambatan psikologis dan intelektual bagi pengembangan keilmuan di negara kita. Sudah merupakan rahasia umum bahwa jurusan Pasti-Alam dianggap lebih mempunyai prestise dibandingkan dengan jurusan Sosial-Budaya. Hal ini menyebabkan kepada mereka yang mempunyai minta dan bakat baik dibidang ilmu-ilmu sosial akan terbujuk memilih ilmu-ilmu alam karena alasan-alasan sosial-psikologis. Dipihak lain merupaka yang sudah terkontrak dalam jurusan Sosial-Budaya dalam proses pendidikannya kurang mendapatkan bimbingan yang cukup dalam pengetahuan matematikanya untuk menjadi ilmuwan kelas satu yang sungguh-sungguh mampu.

VIII
ILMU DAN BAHASA


TENTANG TERMINOLOGI : ILMU, ILMU PENGETAHUAN DAN SAINS?

Dua Jenis Ketahuan
Manusia dengan segenap kemampuan kemanusiaannya seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra, dan intuisi mampu menangkap alam kehidupannya dan mengabstraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya dalam berbagai bentuk ”ketahuan” umpamanya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Terminologi ketahuan ini adalah terminologi artifisal yang bersifat sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai kseluruhan bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu.

Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita tahu seperti filsafat, ekonomi, seni bediri, cara menyulam dan biologi itu sendiri. Jadi biologi termasuk kedalam ketahua (knowledge) seperti juga ekonomi, matematika dan seni. Untuk membedakan tiap-tiap bentuk dari anggota kelompok ketahuan (knowledge) ini terdapat tiga kriteria yakni :
(a) Objek Ontologis : Adalah objek yang ditelaah yang membuahkan ketahuan.
(b) Landasa Epistemologi : Cara yang dipakai untuk mendapatkan ketahuan (knowledge) tersebut ; atau dengan perkataan lain, bagaimana caranya mendapatkan ketahuan (knowledge) ini.
(c) Landasan Aksiologis : Untuk apa ketahuan itu digunakan (nilai)
POLITIK BAHASA NASIONAL
Bahasa pada hakekatnya mempunyai dua fungsi utama yaitu pertama sebagai sarana komunikasi antarmanusia, dan kedua, sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut. Fungsi yang pertama dapat kita sebutkan sebagai fungsi komunikatif dang fungsi yang kedua sebagai fungsi yang kohesif atau integratif. Pengembangan sebuah bahasa haruslah memperhatikan kedua fungsi ini agari terjadi keseimbangan yang saling menunjang dalam pertumbuhannya. Seperti juga manusia yang mempergunakan bahasa harus terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pergantian zaman.

Pada tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia telah memilih basaha Indonesia sebagai bahasa nasional. Alasan yang paling utama pada waktu utama lebih ditekankan pada fungsi kohesif Bahasa Indonsia sebagai sarana untuk mengintegrasikan berbagai suku ke dalam satu bangsa yakni Indonesia. Tentu saja terdapat evaluasi yang berkonotasi dengan kemampuan bahasa Indonesia sebaga fungsi komunikatif yakni fakta bahwa Bahasa Indonesia merupakan lingua franca dari sebagian besar penduduk, namun kalau dikaji lebih mendalam, maka kriteria bahasa sebagai fungsi kohesif itulah kriteria yang menentukan. Perkembangan bahasa tentu saja tidak dapat dilepaska dari sektor-sektor lain yang juga tumbuh berkembang. Sekiranya bahasa berkembang terisolasikan dari perkembangan sektor-sektor lain maka bahasa mungkin bersifat tidak berfungsi dan bahkan kontra produktif (counter-productive).

IX
PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH


Jujun Suparjan Suriasumantri menjelaskan tentang pengajuan masalah sebagai berikut :
1. Latar belakang masalah
2. Identifikasi masalah
3. Pembatasan masalah
4. Perumusan masalah
5. Tujuan penelitian
6. Kegunaan penelitian

PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
1. Pengkajian mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis.
2. Pembahasan mengenaiulat, penelitian-penelitian yang relevan.
3. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan mempergunakan premis-premis sebagai tercantum dalam butir (1) dan butir (2) dengan menyatakan secara tersurat postulat, asumsi dan prinsip yang dipergunakan (sekiranya diperlukan);
4. Perumusan hipotesis

METODOLOGI PENELITIAN
1. Tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik hubungan yang akan diteliti;
2. Tempat dan waktu penelitian di mana akan dilakukan generalisasi mengenai variabel-variabel yang akan diteliti;
3. Metode penelitian ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi yang diharapkan;
4. Teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan pnelitian, tingkat keumuman dan metode penelitian.
5. Teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran, instrumen dan teknik mendapatkan data.
6. Teknik analisis data yang mencakup langkah-lagkah dan teknik analisis yang dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis (sekiranya mempergunakan statistika maka tuliskan hipotesis nol dan hipotesis tandingannya : H0 / H1)

HASIL PENELITIAN
Setelah perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metodologi penelitian maka sampailah kita kepada langkah berikutnya yakni melaporkan apa yang kita temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul dipergunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan selama penelitian untuk menarik kesimpulan penelitian. Deskripsi tentang langkah dan cara pengolahan data sebaiknya sudah dinyatakan dalam metodologi penelitian. Sering kita melihat bahwa bagian ini dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang kurang relevan dan pembahasan hasil pnelitian yang menyebabkan menjadi kurang tajamnya fokus analisis dalam pengkajian.




Secara singkat maka hasil penelitian dapat dilaporkan dalam kegiatan sebagai berikut :
a) Menyatakan variabel-variabel yang diteliti;
b) Menyatakan teknik analisis data;
c) Mendeskripsikan hasil analisis data;
d) Memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data;
e) Menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN
a) Deskripsi singkat mengenai masalah, kerangka teoretis, hipotesis, metodologi dan penemuan penelitian;
b) Kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan aspek tersebut diatas ;
c) Pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan perbandingan terhadap penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan;
d) Mengkaji implikasi penelitian;
e) Mengajukan saran.

KERANGKA UMUM KARYA ILMIAH
a) Halama utama / halaman sampul
b) Kata pengantar
c) Abstrak
d) Sisi / usulan penelitian
e) Kesimpulan
f) Daftar Pustaka
g) Riwayat Hidu
h) Catatan akhir / lampiran


PENUTUP


Demikian resensi buku Filsafat Ilmu ini disajikan, mudah-mudahan mampu menggugah pe-resensi untuk terus mencari dan bertualang didunia ilmu dan akhirnya memutuskan dengan berpedoman pada moralistas universal. Dalam kegiatan me-resensi buku ini adapun yang menjadi penilaian umum (general evaluation) bagi pe-resensi yaitu :
1. Metode Penyajian : sangat detail, mudah dipahami dan disertai dengan contoh berupa gambar atau ceritera. (Keunggulan)
2. Penyusunan : penyusunan tidak ber-Bab / tidak seperti buku-buku lainnya. (Kelemahan)
Namun dibalik dari penilain yang pe-resensi paparkan, kami sangat berharap akan manfaat dari hasil resensi isi buku ini dan dapat menambah wawasan keilmuan kita khususnya dalam bidang ”Filsafat Ilmu”.
Pada akhirnya pe-resensi senantiasa mengharap semoga kegiatan me-resensi buku ini bernilai ibadah disisi Allah SWT. Amin Ya Robbal A’lamin.
Terima kasih Mas Jujun...
Wassalam
Makassar, 15 November 2010

MUHSYANUR (10B01028)
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar 2010

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DITINJAU DARI PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

Oleh : Muhsyanur

BAB I
PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG
Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama penghuni Surga dan hidup ditengah-tengah populasi masyarakat dan jin yang memang sudah diciptakan sebelumnya. Sebagai penghuni Surga, Adam telah diberikan oleh Allah Inayah yang luar biasa besarnya sehingga segala kebutuhan yang diinginkan Adam sudah tersedia. Saat Adam diturungkan Allah ke bumi dan menjadi Khalifah pertama diatas permukaan bumi, sejarah peradaban manusia telah dimulai. Adam sebagai Bapak manusia pertama telah mulai mengenal pengetahuan, walaupun masih didampingi para malaikat.
Kita mengetahui perjalanan sejarah ilmu pengetahuan modern yang kita ketahui sekarang masih sangat terbatas. Karena itu, sangat sulit bagi ilmu untuk mengungkapkan kondisinya sendiri dalam beribu tahun sebelumnya. Kesulitan ini dapat dibantu melalui pendekatan sejarah atau agama. Jika hal ini digunakan, maka kita dengan mudah mendapatkan informasi bahwa perkembangan ilmu pengetahuan telah berlangsung sejak manusia pertama (Adam) diciptakan. Bukankah perintah Allah seperti berikut menunjukkan keadaan tersebut?
” Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: ’ Sebutkan kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.” Mereka menjawab: ” Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana ”. (QS 2:311-32)
Dari surat tersebut ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, bahwa manusia mempunyai ilmu yang lebih luas dibandingkan dengan malaikat. Kedua Adam, sebagai bapak manusia, benar-benar sudah mengetahui bentuk segala sesuatu pada waktu hidupnya sampai keturunan berakhir.
Bentuk ilmu yang dimiliki oleh Adam belum menjelaskan secara rinci bagaimana bentuk dan penggunaannya. Bentuk yang lebih operasional dikembangkan oleh Nuhdalam bentuk Teknologi perahu yang sama dengan supertangker atau kapal induk pada masa sekarang.
” Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu ; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan ”. (QS 11:37)
Dari ayat ini sangat jelas menerankan bahwa Allah secara langsung ikut campur tangan dalam perkembangan teknologi. Jadi mungkin ini sebabnya setelah peristiwa tersebut (yang bersifat kondisional), Nuh belum mengembangkan dan mentransfer teknologi yang dianggap spektakuler menurut sejarah dan agama. Pada waktu itu, teknologi satelit mata-mata sudah ada dan disebut hud-hud. Dia bisa mengirim berita dari wilayah keuasaannya, memanfaatkan teknologi angkutan yang canggih yang mampu membawa berita dari jarak ribuan kilometer dalam waktu kurang dari satu detik.
Dari contoh yang telah disebutkan di atas, muncul pertanyaan, jika kondisi ini benar, mengapa ilmu pengetahuan yang demikian maju tidak sampai kegenerasi kita? Seharusnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita miliki sekarang sudah bergerak beberapa abad didepan kita.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam Karya Tulis ini adalah :
1. Bagaimana gambaran manusia pertama mulai mengenal ilmu pengetahuan.
2. Bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan sejak manusia pertama.
3. Bagaimana terbentuknya ilmu pengetahuan dan teknologi dimasa para utusan Allah.
C. TUJUAN DAN MANFAAT
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka yang menjadi tujuan dalam Karya Tulis ini adalah :
1. Untuk memahami gambaran manusia pertama mulai mengenal ilmu pengetahuan.
2. Untuk mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan sejak adanya manusia pertama.
3. Untuk mengetahui terbentuknya ilmu pengetahuan dan teknologi dimasa para utusan Allah.
Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dalam tulisan ini adalah :
1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi pembaca.
2. Bagi pembaca diharapkan dapat memberikan wawasan yang luas tentang ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Sebagai bahan tambahan pengetahuan tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


BAB II
PEMBAHASAN


I. BAGAIMANA GAMBARAN MANUSIA PERTAMA MULAI MENGENAL ILMU PENGETAHUAN

1. Ilmu

Ilmu adalah pengetahuan yang diterapkan dalam proses konsepsionalisasi dan operasionalisasi. Ilmu barulah tahap dimana abstraksi pengetahuan manusia diterapkan tanpa melalui proses observasi dan pengujian hipotesis.
Dari Manakah Ilmu Dimulai ?
Permulaan Ilmu dapat disusuri sampai pada permulaan manusia. Ketika Allah mengutus Nabi Adam turun kebumi. Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya.
Dan ketika Nabi Nuh mengembangkan dalam bentuk teknologi perahu yang sama dengan Supertangker atau Kapal Induk pada masa sekarang.
Dan selanjutnya sejak awal kehadirannya Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ........ Sebagaimana sudah di ketahui bahwa Nabi Muhammad saw, ketika diutus oleh Allah sebagai Rasul hidup dalam masyarakat yang terbelakang, dimana ........... tumbuh menjadi sebuah identitas yang melekat pada masyarakat Arab masa itu. Kemudian Islam datang menawarkan Cahaya Penerang yang mengubah masyarakat Arab Jahiliyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Ketika Rasulullah Saw. Menerima wahyu pertama yang mula-mula diperintahkan kepadanya ”Membaca”. Jibril memerintahkan Muhammad dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan Wahyu pertama itu menghendaki umat islam untuk senantiasa ”Membaca” dengan dilandasi Bismi Rabbik, dalam arti hasil bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.
Permulaan ilmu dapat disusuri pada permulaan manusia antara lain aliran.
- Aliran Romantis mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara ilmu dan seni. Keduanya bertumpu pada proses kreativitas dan dimulai dengan imajinasi dan intuisi.
- Aliran Rasional mengatakan proses ilmu dimulai dari data. Kumpulan sejumlah fakta, cari hubungan-hubungan dan simpulkan dalam bentuk teori.
- Aliran Hipotetico – Deduktif mengatakan bahwa ilmu dikembangkan secara induktif. Ilmu dimulai dari serangkaian aksioma yang berasal dari berbagai sumber.
Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan itu melewati tiga tahap, yakni Konseptualisasi, Operasionalisasi, dan Observasi.
Pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua macam objek yaitu objek Material dan Objek Formal.
Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan. Seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran.
Adapun objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut. Jadi ilmu hanya terbatas pada persoalan empiris saja. Objek Ilmu terkait dengan Filsafat pada objek empiris disamping itu secara historis ilmu berasal dari kajian Filsafat. Setelah berjalan beberapa kajian yang terkait dengan hal yang empiris yang semakin bercabang dan berkembang sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang praktis.
Ciri-ciri utama Ilmu menurut terminologi antara lain :
- Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris sistematis dapat diukur dan dibuktikan.
- Ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke Objek yang sama dan saling berkaitan secara logis.
- Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat didalam dirinya sendiri. Hipotesis-hipotesis dan teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.
- Ilmu dalam pengetahuan ilmiah adalah ide bahwa metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada dasarnya harus terbuka kepada semua pencari ilmu.
- Ciri hakiki ilmu ialah metode logis sebab kaitan logis yang dicari ilmu yang telah dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan dan ide yang terpisah-pisah.
- Kesatuan setiap ilmu bersumber didalam kesatuan objeknya.

Definisi Ilmu menurut para ahli :

- Muhammad Hatta.
Ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya dan kedudukannya.
- Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag
Ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak.
- Karl Pearson
Ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensip dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
- Ashley Montagu, guru besar Antropolog di Ratgers University
Ilmu adalah Pengetahuan yang disusun dalam suatu sistem yang berasal dari pengamatan, Studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang dikaji.
- Harsojo, Guru Besar Antropolog di Universitas Pajajaran, Ilmu adalah:
1. Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan.
2. Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris (dapat diamati oleh panca indra manusia).
3. Suatu cara menganalisis yang mengisinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu proposisi.
- Afansyef (Rusia)
Ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran.
- Mulyadhi Kartanegara berpendapat bahwa objek ilmu tidak mesti selalu empiris bahkan yang tidak empiris lebih luas dan dalam dibandingkan dengan yang empiris.

b. Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek.
Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.
Selain itu, pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat dicerap melalui pancaindera. Pengetahuan tidak dapat dikategorikan ilmu, karena hanya bertolak dari pengamatan subjektif manusi tentang realita. Pengetahuan yang tersusun dalam kesan inderawi dapat bersifat potensial dan aktual. Oleh karena itu setiap individu memiliki pengetahuan yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak terbatas hanya pada hal-hal yang kasat mata, melainkan mencakup pula hal-hal yang abstrak, bahkan yang bersifat transendental atau supranatural. Pengetahuan tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu, selain karena induksi yang ada dalam pengetahuan itu lebih cenderung sebagai proses penalaran dan pengalaman pribadi seseorang dalam menafsirkan, mengkontemplasikan, merumuskan dan menyimpulkan realitas. Pengetahuan telah ada sejak manusia lahir yang tidak dapat dibatasi secara kontekstual. Perbedaan pengetahuan adalah sama jamaknya dengan perbedaan setiap manusia. Pengetahuan seorang sufi tentunya tidak sama dengan pengetahuan seorang dosen Filsafat Theologi. Kesamaan dapat terjadi, hanya pada konteks yang terbatas karena antara Sufi dan Theolog bertolak dari perbedaan prinsipil tentang pemahaman akan keyakinan religius. Meskipun mungkin keduanya meyakini bahwa Tuhan itu Maha Kuasa dan dirinya adalah fakta tentang Kemahakuasaan itu. Pengetahuan seorang anak balita tentu saja tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu, karena apa yang ada dalam struktur pengetahuan yang dimilikinya itu belum teruji kebenarannya.


Ada empat cara manusia memperoleh pengetahuan, yakni :
1. Kejadian secara kebetulan (ditemukannya Kina sebagai obat anti Malaria).
2. dengan metode Trial dan Error
3. Dengan latihan dan kebiasaan yang diulang-ulang
4. Dengan merujuk pada pendapat ahli.
Dari perbedaan ilmu dengan pengetahuan bahwa pengetahun adalah keseluruhan pengetahuan yang tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik.
Contoh : Lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar dan ditempat lain yang belum tersusun dengan baik.
Jadi yang dimaksudkan pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan (beliefs) takhyul (supertitions). Adalah sangat penting untuk diketahui bahwa pengetahuan berbeda dengan buah pikiran (ideals), oleh karena itu tidak semua pikiran merupakan pengetahuan dan tidak semua pengetahuan merupakan suatu ilmu, hanya pengetahuan yang tersusun secara sistematis saja yang bisa merupakan ilmu pengetahuan. Tujuan ilmu pengetahuan adalah lebih mengetahui dan mendalami segala segi kehidupan.


II. PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN SEJAK MANUSIA PERTAMA.

Manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan dunia. Usaha mula-mula dibidang ke ilmuan yang tercatat dalam lembaran sejarah yang dilakukan oleh Bangsa Mesir dimana banjir sungai Nil yang terjadi setiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem Almanak Geometri dan kegiatan Survey. Setelah ini muncul bangsa Yunani yang menitikberatkan pada pengorganisasian Ilmu dimana mereka meastronomi, kedokteran dan sistim klasifikasi, namun juga menjadi dasar bagi penjabaran secara induktif pengalaman-pengalaman.
a. Ilmu Pengetahuan
Ilmu Pengetahuan adalah organisasi pengetahuan yang sistematik yang terkontrol, digali berdasarkan fakta-fakta dan pengalaman empirik yang dapat diuji kebenarannya.
b. Ada Empat Cara Manusia memperoleh Ilmu Pengetahuan, Yakni :
1. Dengan Metode keteguhan atau berpegang teguh pada yang ada.
2. Dengan merujuk pada pendapat ahli (metode otoritis)
3. Dengan intuisi atau keyakinan
4. Dengan metode ilmiah
Ilmu Pengetahuan itu ditegakkan di atas empat kaidah, yakni :
ORDE : artinya Ilmu Pengetahuan itu dibangun berdasarkan hukum-hukum yang berlaku umum. Ilmu selalu berlandaskan pada hukum probalitas, bukan pada keserampangan.
DETERMINSIME : artinya Ilmu Pengetahuan itu percaya bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab atau preseden (pendahuluan) yang dapat diselidiki
KESEDERHANAAN : artinya Ilmu Pengetahuan itu lebih menyukai penjelasan yang sederhana dari pada penjelasan yang kompleks bila keduanya sama-sama menjelaskan fakta.
EMPIRISME : artinya kesimpulan-kesimpulan Ilmu Pengetahuan haruslah didasarkan pada pengalaman yang dapat diamati. Pengalaman mistik tidak dapat dikatakan ilmiah, karena sifatnya yang individual dan sukar diulangi oleh orang lain pada tempat, waktu dan cara yang sama.
c. Apakah Ilmu Pengetahuan (Science)
Manusia diciptakan sebagai mahluk yang sadar. Kesadaran manusia itu dapat disimpulkan dari kemampuannya untuk berpikir, berkehendak dan merasa. Dengan pikirannya mendapatkan (ilmu) pengetahuan. Secara pendek dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan (knowledge) yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, yang mana selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang ingin mengetahuinya.
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan timbul karena adanya hasrat ingin tahu dalam diri manusia. Hasrat ingin tahu timbul oleh banyaknya aspek kehidupan yang masih gelap, dan manusia ingin mengetahui kebenaran dari kegelapan tersebut. Dalam usahanya untuk mencapai kebenaran tersebut manusia selalu mengadakan penelitian secara ilmiah. Penelitian secara ilmiah dilakukan manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf keilmuan, yang disertai dengan keyakinan bahwa setiap gejala dapat ditelaah dan dicari sebab akibatnya.
Selanjutnya, ilmu pengetahuan tersebut harus dapat dikemukakan dan diketahuioleh umum sehingga dapat diperiksa dan ditelaah oleh umum yang berbeda fahamnya dengan ilmu pengetahuan yang dikemukakan. Seorang ilmuwan (scietist) selalu harus menjelaskan segala pengetahuannya dengan jujur, rahasia perbuatannya tidak boleh disembunyikan ilmu pengetahuan bertujuan agar manusia lebih mengetahui dan memahami segala segi kehidupan ini. Dari sudut penerapannya, maka ilmu pengetahuan dibedakan antara lain ilmu pengetahuan murni (pure science) dan ilmu pengetahuan yang diterapkan (applied science). Ilmu pengetahuan murni bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak, dan ilmu pengetahuan yang diterapkan bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut di dalam masyarakat yang bertujuan untuk membantu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Selain dari itu, maka dapat pula dibedakan antara ilmu-ilmu yang teoritis rasional, teoritis praktis maupun teoritis empiris. Salah satu cara untuk memperoleh kerakteristiksuatu ilmu pengetahuan adalah dengan cara melukiskannya secara kongkrit.
Kiranya jelas sekali betapa luasnya ilmu pengetahuan itu. Permasalahannya adalah, kapan metode ilmiah berkembang?. Perjalanan ilmu pengetahuan modern tidak seperti perkiraan kita.



III. PERKEMBANGAN TERBENTUKNYA ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

a. Teknologi
Teknologi adalah setiap implementasi ilmiah yang ditujukan pada proses kombinasi peralatan dan metode guna merumuskan makna praktis atas realitas. Atau dengan kata lain setiap upaya sistematik yang bertujuan meningkatkan efisiensi penggunaan semua sumber daya melalui kombinasi pengetahuan ilmiah yang ditunjang dengan perangkat peralatan (hardware and software). Setiap teknologi selalu membawa makna simbolik tentang keunggulan, efisiensi dan efektifitas. Makna tersebut teruji berdasarkan hipotesis, yang berimplikasi terhadap kemungkinan terjadinya inovasi baru untuk tujuan-tujuan praktis dan nilai guna bagi manusia. Secara sederhana tehknologi dapat dirumuskan dalam pengertian setiap upaya manusia yang mempergunakan peralatan-peralatan untuk kepentingan praktis, bukan untuk kepentingan teoritik dalam rangka peningkatan hasil akhir.
Jika kita mengikuti jalan pikiran Hull yang diangkat atau dinyatakan oleh Muhammad dan Rasyunan bahwa perjalanan ilmu dapat dibagi menjadi periode tujuh abad, seperti pembahasan berikut :
b. Sejarah Iptek
1. Tujuh Abad Pertama (samapi 6 abad SM)
Periode ini didominasi oleh filosof Yunani, salah seorang tokoh besar yang terkenal seperti Thales (640-545 SM). Dia seorang ahli matematika, astronomi dan filsafat yang teorinya menyatakan bahwa ”segala sesuatu adalah air” pernyataan ini identik dengan sebuah ayat Al-Qur’an : ”kami menciptakan segala sesuatu yang hidup dari air, (Al-Anbiya : 30). Anaximandros (610-547 SM) seorang murid Thales, dengan pendapatnya yang terkenal adalah pencipta. Phytagoras (lahir 570 SM) meletakkan dasar Geometri ddan Aritmetika dengan moral agama dan mistisisme. Empledocles dikenal sebagai pendiri dasar fisika dan biologi, sedangkan teori atom berasal dari Liucippus dan Democritus. Socrates (399 SM) adalah filsuf yang sangat terpengaruh oleh salah satu tulisan yang ada di kuil Delta yang mengatakan ” dengan kesadaran akan diri kamu sendiri, kamu akan mengenal diri sendiri,” sebuah pendapat yang hampir sama dengan pepatah arab ”kenalilah dirimu, niscaya kamu akan mengenal Tuhanmu,” Plato (427-384 SM) adalah murid socrates. Dia melanjutkan filosofi gurunya, perbedaannya adalah jika Socrates berpendapat bahwa jiwa manusia bersama dengan kebenaran , tetapi Plato berpendapat bahwa kebenaran hanya bersama manusia saja. Hampir semua pendapat diatas sebenarnya merupakan gambaran perkembangan kemampuan intelektual manusia dalam mencari kebenaran dan ini menjadi ilmu khusus yang berkembang di Yunani pada waktu itu, yaitu dengan menggunakan metode Filsafat.
Filsafat biasanya dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang umum. Pythagoras menyatakan dirinya sebagai orang yang cinta kebijaksanaan, karena ”Philem” (bahasa yunani) adalah cinta dan ”Sophia” merupakan kebijaksanaan. Filsafat dicari untuk kebijaksanaan dan kebijaksanaan dicarikan. Asal-usul filsafat merupakan penjelasan rasional secara umumnya. Prinsip-prinsip atau asas-asas yang dijelaskan terhadap semua fakta adalah filsafat. Dengan demikian, walau filsafat adalah induk pengetahuan, filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan.
Seorang ahli filsafat Yunani kuno bernama Zeno dari Elea hidup di Italia selatan sekitar tahun 495 sampai sekitar 430 SM. Ia membuat serangkaian pernyataan yang dikenal dengan ”Paradoks Zeno” yang bertujuan untuk memperlihatkan bahwa pengertian manusia akan gerak dan waktu tak mencukupi. Paradoks Zeno memperhatikan hubungan antara ruang dan waktu.teka-tekinya yang paling masyhur ”membuktikan” bahwa kura-kura tak akan terlampaui oleh pelari, bahkan oleh pelari yang paling cepat dalam perlombaan sekalipun. Ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa yang lebih lambang tidak akan dilewati oleh yang lebih cepat dalam suatu perlombaan. Penalaran yang sama mengemukakan bahwa serdadu dapat selalu mendahului anak panah yang melesat dibelakangnya. Paradoks ”anak panah” Zeno berusaha membuktikan bahwa benda yang bergerak sebenarnya tetap berada di tempatnya. Teka-teki ini tergantung pada khayalan bahwa kita dapat menghentikan gerakan itu kapan kita mau.
2. Tujuh Abad Ke-dua (6 abad SM samapai abad 6 SM)
Pada abad ini penguasa Romawi mengembanakan agama Kristen. Terjadi pertempuran sengit antara ajaran kristen dengan filsafat yang dimenangkan oleh Kristen. Hal ini menyebabkan terjadinya kekakuan dan kemunduran ilmu pengetahuan. Kondisi ini didukung oleh penguasa Romawi yang menindas kebebasan berpikir, yang dianggap membahayakan kekuasaan mereka. Terjadinya kerjasama antara gereja dengan penguasa mengakibatkan ilmu pengetahuan mencapai suatu titik kekakuan atau kemandekan dengan titik terendah terjadi pada abad ke 4 sampai ke 5 M.
Awal berkembangnya agama Kristen pada abad pertama, sudah ada pemikiran-pemikiran Kristiani yang menolak filsafat Yunani. Mereka berpendapat bahwa setelah Allah memberikan wahyu kepada manusia, maka mempelajari filsafat yunani yang non Kristen dan non Yahudi adalah sia-sia dan berbahaya. Salah seorang pemukanya adalah Tertulianus (160-222). Tetapi pemikiran-pemikiran Kristen lain ada juga mempelajari filsafat Yunani, a.l. Yustinus Martir, Klemens (150-215), Gregorius dll. Gregorius dan Nyssa (335-394) menciptakan suatu sintesa antara agama Kristen dengan kebudayaan Hellenistik (filsafat Yunani), tanpa mengorbangkan apapun dari kebenaran agama kristen. Tetapi ada juga karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Dionysios yang berbau neoplatonis.
Bapak gereja yang terkenal pada zaman itu adalah Augustinus (354-430). Ia menulis a.l. ”Confesiones” (pengakuan-pengakuan), ”De Civitate” (Kota Allah). Augustinus diakui sebagai Bapak Gereja yang besar oleh orang-orang Katolik Roma maupun orang-orang Protestan.
3. Tujuh abad ketiga (abad ke 6 M sampai ke 13 M).
Periode ini dikenal sebagai abad kejayaan Islam. Terdapat imam dan intelektual yang muncul dan juga perasaan persaudaraan yang kuat. Tidak menherangkan, hanya dalam periode satu abad saja Islam sudah mampu menciptakan suatu revolusi kebudayaan dan sosial (akidah) dalam hampir semua bagian di dunia terutama di Zaman Khulafaur Rasyidin. Hasilnya adalah sumbangan pemikiran dan kitab hhukum melalui para pemikir, seperti Imam Hanafi (699-767 M), Imam Malik (712-798 M), Imam Syafi’i (767-820 M), dan Ahmad Ibnu Hambal (780-855 M). Setelah itu, ilmu pengetahuan berkembang dengan cepat, diantaranya fisika optik dan teori oleh Al Hasam (1000 M), ilmu kedokteran dengan buku yang terkenal Al-Qanum Fit Thibb oleh Ibnu Sina (980-1036 M).

Filsafat Islam, meskipun mengalami gerhana pada abad ke-5 H/11M di Persia dan negeri-negeri Islam Timur lainnya akibat serangan Syahrastani, Al-Ghasali, dan Fakhruddin Al-Rasi, tidaklah sekedar Hijraj ke Spanyol dan menikmati musim semi yang singkat ditangan Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd dan akhirnya mati mengering di ujung Barat Dunia Islam. Filsafat Ibnu Sina dihidupkan kembali oleh Nashiruddin Thusi dan kelompoknya di abad ke-7 H/13 M, sementara dua generasi sebelumnya suatu perspektif intelektual yang baru mulai diperkenalkan oleh Syuhrawardi yang menamai Mazhab Pencerahan (isyraq). Lenih lanjut, ” Sains Mistisisme” atau ”Irfan (gnosis) terumuskan kira-kira pada waktu yang bersamaan oleh Ibnu ’Arabi dan segera mulai berinteraksi dengan cara yang sangat kreatif dengan tradisi filsafat islam maupun teologi atau kalam yang saat itu telah menjadi semakin ”filosofis”.
Kini tidak bisa menutup mata untuk menutup-nutupi kelemahan kita, bahwa umat islam sekarang jauh tertinggal dengan dunia barat dibidang sains dan teknologi. Padahal kita sendiri sadar, bahwa khasanah intelektual itu telah ditumbuh suburkan oleh para pendahulu kita, sejak beberapa abad yang silam. Banyak ahli sejarah membuktikan, bahwa kemunduran umat islam itu karena dua faktor : eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah, karena kekalahan umat isalam dalam perang salib dan faktor internalnya adalah semakin memudarnya tali persaudaraan umat dan munculnya fanatisme golongan.
Seperti yang disorot oleh Sykib Arselan dalam bukunya Limadza Taakhar Al-Muslimun Wa Taqaddama Ghairuhum, bahwa kemunduran umat islam di samping karena faktor eksternal juga karena adanya faktor internal, yaitu hancurnya kesatuan dan persatuan antar umat islam, munculnya konservatismedan acuh tak acuhnya terhadap sains modern yang merupakan warisan intelektual islam. Oleh sebab itu menurutnya, perlu dibangkitkan ukhuwah islamiyah dan jihad serta ijtihad.
4. Tujuh abad ke-empat (abad ke 13 sampai sekarang)
Setelah umat islam mencapai puncak kejayaan peradaban, siklus sejarah kembali berulang. Dalam tiga abad pertama terjadi penerjemahan buku-buku islam ke peradaban barat, yang diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa eropa, di samping transper buku-buku ilmu pengetahuan yang dikenalkan oleh Roger Bacon dan dilanjutkan oleh Francis Bacon (1561-1626 M) yang menekankan kesamaan pengamatan. Pada waktu metodologi ini dikenal di Eropa masyarakat Eropa masih dalam ”Abad Kegelapan” yang berpegang pada pemahaman ”Generatio Spontanea”. Pendapat pertama mengatakan bahwa cacing dan belatung berasal dari keju, tikus dari sampah dan lain-lain. Pendapat ini dijungkir balikkan sedikit demi sedikit oleh metodologi penelitian.
Orang yang memulai penelitian ini adalah Fransisco Redi yang menunjukkan bahwa daging yang ditutup dengan penutup sehingga tidak dihinggapi lalat kemudian membusuk akan tidak mengeluarkan belatung. Diikuti peneliti Italia yang lain, spallanzani (1175 M) membuktikan bahwa daging yang sudah di masak dan diletakkan dalam botol dan ditutup rapat sehingga tidak terkontaminasi oleh udara, tidak akan membusuk penelitian-penelitian ini menjungkir-balikkan teori Generatio Spantanea dan muncullah teori ke dua, ” Omne vivum ex ovum” (bahwa setiap kehidupan berasal dari telur). Walaupun sebenarnya teori ini dapat dihancurkan dengan satu pertanyaan : ”Jika segala sesuatu berasal dari telur, dari mana datangnya telur pertama.” Realisasi ini menghambat kemajuan ilmu pengetahuan eropa. Tetapi berkat interaksi kebudayaan eropa dengan peradaban islam, terjadi revolusi besar-besaran di eropa seperti renaissance pada abad ke-17 dan pencerahan pada abad ke-18.
Kebangkitan Eropa dimulai dengan penemuan sel dan hewan bersel satu oleh Louis Pasteur, seperti protozoa dan bakteri, Charles Darwin mengetahkan teori evolusi melalaui seleksi alam yang ditulis alam buku asal-usul spesies, pada tahun 1859. setelah penemuan-penemuan di atas, eropa maju lebih cepat dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan terutama dalam bidang fisika, kimia dan matematika. Salah satu ilmuwan yang terkenal adalah Albert Einstein (1879-1955).
Albert Einstein terkenal berkat teori ”Relativitasnya”, teori khusus tentang realitivitas membuat berbagai ramalan yang aneh sehingga banyak yang tidak dapat percaya bahwa teori ini benar adanya. Mereka lebih percaya pada pandangan ”akal sehat” Newton yang berlandaskan pengalaman sehari-hari tentang dunia. Mereka lebih mengira bahwa gagasan Einstin hanyalah ”sekedar teori”. Teori khusus tentang relativitas ini telah diuji berulang kali, dan hasilnya selalu menunjukkan bahwa Einstein benar dan akal sehat salah. Bagian-bagian teori khusus bertentangan dengan akal sehat ini hanya terlihat pada kecepatan yang berupa pecahan besar dari kecepatan cahaya., atau dengan perkataan lain mendekati kecepatan cahaya. Karena kita pernah melakukan perjalan dengan kecepatan itu, pengaruhnya tak pernah terlihat, jika pengaruh itu terlihat, akan menjadi akal sehat. Setelah memunculkan teori khusus tentang relativitas, Einstein menghabiskan waktu 10 tahun lagi untuk membenahi teori umum yaitu teori Gravitasi. Teori ini merupakan adi karyanya sebuah teori gravitasi sempurna dan seperti terbukti kemudian, sebuah teori gravitasi sempurna tentang Alam Semesta.





ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan diatas, maka untuk itu perlu berusaha atau mendapatkan informasi dan dapat mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung sejak manusia pertama (Adam) diciptakan.
Melihat perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita miliki sekarang dapat difungsikan dan dimanfaatkan seperti apa yang dilakukan para Utusan Allah.
Dengan teknologi yang ada maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan dan teknologi dapat digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan perkembangan jaman sekarang.



BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
1. Gambaran manusia pertama mulai mengenal pengetahuan yaitu saat Adam diturunkan Allah ke bumi dan menjadi Khalifa pertama diatas permukaan bumi. Peradaban manusia telah di mulai. Adam sebagai Bapak manusia pertama telah mulai mengenal pengetahuan walaupun masih didampingi para malaikat.
2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan sejak manusia pertama ada. sejak kelahiran Islam, ketika Nabi Muhammad diutus sebagai Rasul dan menerima wahyu pertama diperintahkan kepadanya ”membaca” dengan menyebut nama Tuhanmu. Dan pada saat manusia purba menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan dunia.
3. Terbentuknya Ilmu Pengetahuan dan teknologi dimasa para utusan Allah yaitu ketika Nabi Nuh mengembangkan dalam bentuk teknologi perahu yang sama dengan Super Tangker atau Kapal Induk pada masa sekarang. Dan penggunaan sumber daya melalui pengetahuan Ilmiah serta upaya manusia mempergunakan peralatan untuk kepentingan praktis.





B. Saran
1. Akal manusia adalah Anugrah Allah yang diberikan kiranya dapat dipakai mengembangkan ilmu pengetahuan seperti Allah memberikan amanah kepada kepada Adam diawal mengenal pengetahuan.
2. Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan kiranya dapat memakai akal dalam menggunakan metode ilmiah yang bermanfaat untuk kemanusiaan.
3. Hendaknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggunakan sumberdaya melalui pengetahuan ilmiah yang merupakan alat pemberian Allah digunakan dengan baik tidak untuk mengkritik Firman Allah.


DAFTAR PUSTAKA



1. Rohadi, Abdul Fattah. 1994. Ilmu dan Teknologi dalam Islam, Jakarta : PT. Bhinneka Cipta.
2. Jujun. S. Suriasumantri. 1997. Ilmu dalam perspektif, Jakarta : Yayasan Abar Indonesia.
3. Dikdasmen, Depdiknas.2001. Jendela Iptek (Ruang dan Waktu). Jakarat : Balai
4. Zainuddin, M. 2002. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta.
5. Agustami. 2002. Keseimbangan Peningkatan Imtak dengan Penguasaan Iptek. Jakarat : Dian Ariesta.
6. Amsal Bahtiar. 2004. Filsafat Ilmu, Jakarat : PT. Raja Grafindo

Minggu, 06 Februari 2011

Filsafat Bahasa (Hubungan Filsafat dengan Bahasa)

Oleh
MUHSYANUR



BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
“Tiada kehidupan tanpa sebuah bahasa” dan “Tiadasebuah cinta tanpa adanya filsafat”
Bahasa dan filsafat berjalan berpapasan mengikuti arus sesuai dengan peralihan dari siang ke petang, dari hari kemarin ke hari esok. Sesorang akan mampu berfilsafat jika bahasa itu ada, begitu juga dengan adanya bahasa, seseorang itu akan berbahasa sesuai dengan hasil penalaran, proses kerja otak dan menghasilkan pengetahuan yang diolah melalui filsafat. Jadi, bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu..
Minat seseorang terhapad kajian bahasa bukanlah hal yang baru sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya Retorika Corax dan Cicero pada zaman Yunani dan Romawi abad 4 – 2 SM hingga saat ini (Post Modern), bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat menarik.
Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang dunia filsafat dapat dikatan sebagai suatu hal yang baru. Istilah muncul bersamaan dengan kecendrungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Oleh karena itu, sangat wajar apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan pengertian yang pasati mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat bahasa.
Verhaar telah menunjukkan dua jalan yang terkandung dalam istilah filsafat bahasa, yaitu : 1) filsafat mengenai bahasa; dan 2) filsafat berdasarkan bahasa. Di dalam pembahasan makalah ini, akan dibahasa lebih detail tentang hakikat filsafat bahasa. Dan adapun garis-gari besar yang dibahas yaitu : spekulasi asal-usul bahasa, defenisi bahasa dan filsafat itu sendiri, esensi bahasa ditinjau dari segi filsafat, hubungan bahasa dengan filsafat, kelemahan-kelamahan bahasa, fungsi filsafat terahadap bahasa, dan peranan filsafat bahasa dalam pengembangan bahasa.




BAB II

PEMBAHASAN

A. Spekulasi Asal-usul Bahasa
Kendati setiap manusia berbahasa dan melalui bahasa mereka dapat berinteraksi dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta bahasalah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, tidak banyak orang memberikan perhatian pada asal usul bahasa. Orang hanya take for granted bahwa bahasa hadir bersamaan dengan kehadiran manusia, sehingga di mana ada manusia, di situ pula ada bahasa. Jadi bahasa adalah given. Orang mulai menanyakan asal mula bahasa ketika ada persoalan mengenai hubungan antara kata dan makna, tanda dan yang ditandai, hakikat makna, dan perbedaan makna kata yang mengakibatkan kesalahpahaman. Para ahli lebih memberikan perhatian pada bentuk bahasa, ragam bahasa, perubahan bahasa, wujud bahasa, struktur bahasa, fungsi bahasa, pengaruh bahasa, perencanaan bahasa, pengajaran bahasa, perolehan bahasa, evaluasi dan sebagainya daripada melacak sejarah kelahirannya. Padahal dengan mengetahui sejarah kelahirannya akan dapat diperoleh pemahaman yang utuh tentang bahasa.
Sebenarnya studi tentang bahasa, termasuk tentang asal usul bahasa atau glottogony sudah lama dilakukan para ilmuwan, seperti sosiolog, psikolog, antropolog, filsuf, bahkan teolog. Tetapi karena pusat perhatian para ilmuwan tersebut berbeda-beda, maka tidak diperoleh pengetahuan yang memadai tentang asal usul bahasa. Yang diperole justru pengetahuan tentang cabang-cabang ilmu bahasa, seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolingusitik, filsafat bahasa dan sebagainya. Seolah tak mau ketinggalan dengan para ahli sebelumnya, belakangan para neurolog dan geolog juga mengkaji bahasa, sehingga muncul ilmu neurolinguistik dan geolinguistik. Belakangan para ahli komunikasi juga menjadikan bahasa sebagai pusat kajian. Secara mikro, lahir ilmu seperti fonologi, morfologi, sintak, semantik, gramatika, semiotika dan sebagainya Tidak mengherankan bahwa bahasa akhirnya menjadi bahan kajian para ilmuwan dari berbagai disiplin. Ini sekaligus membuktikan bahwa bahasa menjadi demikian penting dalam kehidupan manusia. Tidak berlebihan jika seorang filsuf hermeneutika kenamaan Gadamer mengatakan bahwa bahasa adalah pusat memahami dan pemahaman manusia. Sebab, melalui bahasa akan diketahui pola pikir, sistematika berpikir, kekayaan gagasan, kecerdasan, dan kondisi psikologis seseorang.
Namun demikian asal usul bahasa atau sejarah bahasa tetap obscure dan studi tentang asal usul bahasa tidak sesemarak bidang-bidang kebahasaan yang lain. Mengapa? Jawabannya sederhana dan spekulatif. Sebab, karena tidak terdapat bukti yang cukup untuk menyimpulkan kapan sejatinya pertama kali bahasa digunakan oleh manusia, siapa yang memulai dan bagaimana pula memulainya.
Alih-alih menyimpulkan kapan bahasa pertama kali digunakan manusia, para ahli bahasa justru sepakat bahwa tidak seorang pun mengetahui secara persis kapan bahasa awal mula ada, di mana, bagaimana membuatnya dan siapa yang mengawalinya. Ungkapan yang lazim mengatakan bahwa sejarah bahasa dimulai sejak awal keberadaan manusia. Dengan demikian, sejarah bahasa berlangsung sepanjang sejarah manusia. Ada sedikit informasi dari para peneliti sejarah bahasa yang menyimpulkan bahwa bahasa muncul pertama kali kurang lebih 3000 SM. Inipun dianggap kesimpulan yang spekulatif dan tanpa bukti yang kuat.
Karena hasil studi tentang asal usul bahasa dianggap tidak pernah memuaskan, malah ada yang bersifat mitos dan main-main, maka menurut Alwasilah (1990: 1) pada 1866 Masyarakat Linguistik Perancis pernah melarang mendiskusikan asal usul bahasa karena hasilnya tidak pernah jelas dan hanya buang-buang waktu saja. Perhatian dan waktu lebih baik dipusatkan untuk mengkaji bidang-bidang lain yang hasilnya jelas dan tidak spekulatif, seperti bidang kedokteran, biologi, fisika, astronomi dan sebagainya.
Namun demikian, terdapat beberapa teori tentang asal usul bahasa, di antaranya bersifat tradisional dan mistis. Misalnya, ada yang beranggapan bahwa bahasa adalah hadiah para dewa yang diwariskan secara turun temurun kepada manusia, sebuah ungkapan yang sulit diterima kebenarannya secara ilmiah dan nalar logis. Namun menurut Pei (1971: 12) pada kongres linguistik di Turki tahun 1934 muncul pendapat yang menyatakan bahwa bahasa Turki adalah akar dari semua bahasa dunia karena semua kata dalam semua bahasa berasal dari giines, kata Turki yang berarti “matahari”, sebuah planet yang pertama kali menarik perhatian manusia dan menuntut nama. Kendati kebenarannya masih dipertanyakan banyak kalangan, pendapat tersebut tidak berlebihan. Sebab, dari sisi penggunanya bahasa Turki dipakai tidak saja oleh orang Turki, tetapi juga oleh masyarakat di negara-negara bekas Uni Soviet, seperti Tajikistan, Ubekistan, Armenia, Ukraina, dan sebagainya.
Sebuah hipotesis tentang teori bahasa yang didukung oleh Darwin (1809-1882) menyatakan bahwa bahasa hakikatnya lisan dan terjadi secara evolusi, yakni berawal dari pantomime-mulut di mana alat-alat suara seperti lidah, pita suara, larynk, hidung, vocal cord dan sebagainya secara reflek berusaha meniru gerakan-gerakan tangan dan menimbulkan suara. Suara-suara ini kemudian dirangkai untuk menjadi ujaran (speech) yang punya makna. Masih menurut Darwin kualitas bahasa manusia dibanding dengan suara binatang hanya berbeda dalam tingkatannya saja. Artinya, perbedaan antara bahasa manusia dan suara binantang itu sangat tipis, sampai-sampai ada sebagian yang berpendapat bahwa binatang juga berbahasa. “All social animals communicate with each other, from bees and ants to whales and apes, but only humans have developed a language which is more than a set of prearranged signals”. .
Bahasa manusia seperti halnya manusia sendiri yang berasal dari bentuk yang sangat primitif berawal dari bentuk ekspresi emosi saja. Contohnya, perasaan jengkel atau jijik diekspresikan dengan mengeluarkan udara dari hidung dan mulut, sehingga terdengar suara “pooh” atau “pish”. Oleh Max Miller (1823-1900), seorang ahli filologi dari Inggris kelahiran Jerman, teori ini disebut poo-pooh theory, kendati Miller sendiri tidak setuju dengan pendapat Darwin (Alwasilah, 1990: 3).
Sebagian yang lain berpendapat bahwa bahasa awalnya merupakan hasil imajinasi orang dengan melihat cara jenis-jenis hewan atau serangga tertentu berkomunikasi. Misalnya, kumbang menyampaikan maksud kepada sesamanya dengan mengeluarkan bau dan menari-nari di dalam sarangnya. Semut berkomunikasi dengan antenenya.
Ada juga teori “bow-wow” yang mengatakan bahwa bahasa muncul sebagai tiruan bunyi-bunyi yang terdengar di alam, seperti nyanyian burung, suara binatang, suara guruh, hujan, angin, ombak sungai, samudra dan sebagainya, sehingga teori ini disebut echoic theory. Jadi tidak berevolusi sebagaimana aliran teori Darwinian di atas. Menurut teori “bow-wow” ada relasi yang jelas antara suara dan makna, sehingga bahasa tidak bersifat arbitrer. Misalnya, dalam bahasa Indonesia ada kata-kata seperti: menggelegar, bergetar, mendesis, merintih, meraung, berkokok dan sebagainya. Contoh lainnya, misalnya, oleh sebagian masyarakat anjing disebut sebagai “bow-wow” karena ketika menyalak suaranya terdengar “bow-wow”. Dengan berpikir praktis, orang menamai binatang yang menyalak itu sebagai “bow-wow”.
Mirip teori “bow-wow”, ada juga teori “ding-dong” atau disebut nativistic theory, yang dikenalkan oleh Muller, yang mengatakan bahwa bahasa lahir secara alamiah. Teori ini sama dengan pendapat Socrates bahwa bahasa lahir secara alamiah. Menurut teori ini manusia memiliki kemampuan insting yang sangat istimewa dan tidak tidak dimiliki oleh makhuk yang lain, yakni insting untuk mengeluarkan ekspresi ujaran ketika melihat sesuatu melalui indranya. Kesan yang diterima lewat bel bagaikan pukulan pada bel hingga melahirkan ucapan yang sesuai. Misalnya, sewaktu manusia primitif dulu melihat serigala, maka secara insting terucap kata “Wolf”.
Ada juga teori “pooh-pooh” yang mengatakan pada awalnya bahasa merupakan ungkapan seruan keheranan, ketakutan, kesenangan, kesakitan dan sebagainya. Ada teori “yo-he-ho” yang mengatakan bahasa pertama timbul dalam suasana kegiatan sosial di mana terjadi deram dan gerak jasmani yang secara spontan diikuti dengan munculnya bahasa. Misalnya, ketika sekelompok orang secara bersama-sama mengangkat kayu atau benda berat, secara spontan mereka akan mengucapkan kata-kata tertentu karena terdorong gerakan otot.
Ada juga teori “seng-song” yang mengatakan bahasa berawal dari nyanyian primitif yang belum terbentuk oleh kelompok masyarakat. Selanjutnya nyanyian tersebut dipakai untuk menyampaikan maksud atau pesan dan membentuk struktur yang teratur walau sangat sederhana. Nenek moyang kita jutaan tahun lalu berbahasa dengan kosa kata dan tatabahasa yang sangat terbatas. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, sistem lambang ini pun berkembang hingga akhirnya lahir bahasa tulis. Lewat bahasa tulis, peradaban manusia berkembang menjadi demikian pesat. Dengan demikian, bahasa terbentuk dan berkembang secara evolutif
Berbeda dengan aliran-aliran primitif tersebut di atas, para filsuf Yunani kuno, seperti Pythagoras, Plato, dan kaum Stoika berpendapat bahwa bahasa muncul karena “keharusan batin” atau karena “hukum alam”. Disebut “keharusan batin”, karena bahasa hakikatnya adalah perwujudan atau ekspresi dunia batin penggunanya. Lihat saja bagaimana bahasa seseorang ketika sedang marah, bahagia, gelisah dan sebagainya. Semuanya tergambar dalam bahasa yang diucapkan. Pendapat yang cukup masuk akal dan menjadi dasar pemahaman orang tentang makna bahasa sampai saat ini muncul dari filsuf seperti Demokritus, Aristoteles, dan kaum Epikureja yang mengatakan bahwa bahasa adalah hasil persetujuan dan perjanjian antar-anggota masyarakat. Sebab, sifat dasar manusia adalah keinginannya berinteraksi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Untuk itu, mereka memerlukan sarana atau alat komunikasi. Tetapi pertanyaannya adalah bagaimana orang melakukan perundingan atau persetujuan atas sesuatu sementara mereka belum memiliki alat untuk itu. Apakah hanya menggunakan isyarat dengan anggota badan? Sayangnya, teori ini berhenti sampai di sini.
Kendati teori tentang asal mula bahasa masih kabur dan demikian beragam, dari yang bersifat mitos, religius, mistis sampai yang agak ilmiah, menurut Hidayat (1996: 29) secara garis besar terdapat tiga perspektif teoretik mengenai asal usul bahasa, yakni teologik, naturalis, dan konvensional. Aliran teologik umumnya menyatakan bahwa kemampuan berbahasa manusia merupakan anugerah Tuhan untuk membedakannya dengan makhluk ciptaanNya yang lain. Dalam al Qur’an (2: 31) Allah dengan tegas memerintahkan Adam untuk memberi nama benda-benda (tidak menghitung benda). Para penganut aliran ini berpendapat kemampuan Adam untuk memberi nama benda disebut tidak saja sebagai peristiwa linguistik pertama kali dalam sejarah manusia, tetapi juga sebuah peristiwa sosial yang membedakan manusia dengan semua makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Tak bisa dipungkiri bahasa kemudian menjadi pembeda yang sangat jelas antara manusia (human) dengan makhluk yang bukan manusia (non-human).
Tentu saja pendapat ini bersifat dogmatis dan karenanya tidak perlu dilakukan kajian secara ilmiah dan serius tentang asal usul bahasa. Kehadiran bahasa diterima begitu saja, sama dengan kehadiran manusia yang tidak perlu dipertentangkan. Karena bersifat teologik, maka aliran ini terkait dengan keimanan seseorang. Bagi yang beragama Islam perintah Allah kepada Adam di atas harus diterima sebagai kebenaran, karena tersurat dengan jelas di dalam kitab suci al Qur’an. Sisi positif aliran ini adalah kebenarannya bersifat mutlak dan karenanya tidak perlu diperdebatkan karena berasal dari Allah. Tetapi sisi negatifnya ialah aliran ini menjadikan ilmu pengetahuan tentang bahasa tidak berkembang. Sebab, tidak lagi ada kajian atau penelitian tentang asal usul bahasa. Padahal, penelitian merupakan aktivitas ilmiah yang sangat penting untuk menjelaskan dan mencari jawaban atas berbagai fenomena alam, sosial, dan kemanusiaan termasuk fenomena bahasa. Lebih dari itu, penelitian merupakan aktivitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Tidak pernah ada ilmu pengetahuan berkembang tanpa penelitian. Hampir semua ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dibarengi dengan kegiatan penelitian secara intensif. Misalnya, ilmu kedokteran, biologi, fisika, astronomi dan sebagainya.Kemajuan pesat pada ilmu-ilmu itu beberapa dasawarsa belakangan ini karena kegiatan penelitian yang begitu intensif di bidang itu.

B. Defenisi Bahasa dan Filsafat
Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
Lain halnya menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
Menurut Santoso (1990:1), bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.
Definisi lain, Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem. Pengertian tersebut dikemukakan oleh Mackey (1986:12).
Menurut Wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
Hampir senada dengan pendapat Wibowo, Walija (1996:4), mengungkapkan definisi bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain.
Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin (1986:2), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf. Pendapat terakhir dari makalah singkat tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono (1983:01), bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.
Sedangkan Filsafat, jika dilihat dari ilmu asal-usul kata (etimologi), istilah filsafat diambil dari kata falasafah yang berasal dari bahasa Arab. Istilah ini diadopsi dari bahasa Yunani, yaitu dari kata “philosophia´
Kata philosophia terdiri dari kata philein yang berarti cinta (love), dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Dengan demikian, secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom) secara mendalam. Dari sini terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa filosof (filsuf, failasuf) adalah seorang yang sangat cinta akan kebijaksanaan secara mendalam. Dan kata filsafat pertama kali digunakan oleh phytagoras (582-496 m). selanjutnya berikut ini beberapa penjelasan mengenai filsafat menurut para ahli yaitu bahasa; a) filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli (Plato), b) filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politi k, dan estetika (Aristoteles), c) filasafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam amaujud bagaimana hakikat yang sebenarnya (Al-Farabi), d) filsafat adalah sekumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan (Rene Decrate), e) filasafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok pangkal dari segala pengetahuan, yang didalamnya mencakup masalah epistemology mengenai segala sesuatu yang kita ketahui ((Immanuel Kant), f) filasafat adalah berpikir tentang masalah-malasah yaitu tentang makna keadaan, Tuhan, keabadian, dan kebebasan (Langeveld), g) filasafat adala ilmu yang menyelidiki tentang segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia (Hasbullah Bakri), h) filasafat adalah pemerenungan terhadap sebab-sebab “ada” dan berbuat tentang kenyataan (reality) sampai pada akhir (N. Driyarka), i) filsafat adalah hal-hal yang menjadi objek dari sudut intinya yang mutlak dan yang terdalam (Notonagoro), j) filasafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka (Ir. Paedjawijata), k) filsafat adalah ilmu yang selalu mencari yang hakiki baik masalah ketuhanan, realita yang dialami baik dari subjek yaitu manusia maupun dari objeknya yaitu alam (Muhsyanur Syahrir).


C. Esensi Bahasa ditinjau dari segi Filsafat
1. Bidang-bidang khusus yang dikaji dalam filsafat bahasa
a) Filsafat Analitik
Filsafat analitik atau filsafat linguistik atau filsafat bahasa, penggunaan istilahnya tergantung pada preferensi filusuf yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita dapat menjelaskan pendekatan ini sebagai suatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar filusuf.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama Gottlob Frege. Frege memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filsuf-filsuf kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bias direduksi kedalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan jelas. Yang lebih penting, ia percaya logika mampu mengerjakan tugas-tugas jauh melampaui apa saja yang dibayangkan oleh Aristoteles, asalkan makna para logikawan bisa mengembangkan cara pengungkapan makna linguistik. Seluruhnya dengan simbol-simbol logika. Salah satu idenya yang berpengaruh adalah membuat perbedaan “arti” (sense) proposisi dan “acuannya” (referenci)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makan bahwa apabila mempunyai arti sekaligus acauan. (ide ini mengandung kemiripan yang menonjol, secara kebetulan dengan pernyataan Kant bahwa pengetahuan hanya muncul melalui sintesis antara konsep dan intuisi).
b) Filsafat Sintetik
Tekanan yang berlebihan pada logika analitik dalam filsafat, seperti yang telah kita amati, sering menimbulkan pandangan yang mengabaikan semua mitos dalam pencarian sistem ilmiah. Sejauh mana filsuf-filsuf membolehkan cara pikir mitologis untuk memainkan peran dalam berfilsafat barangkali sebanding dengan sejauh mana mereka mengakui berapa bentuk logika sintetik sebagi komplemen sebagai analitik yang sah. Contoh: yesus mengalami hubungan antara bapak da putra, sehingga ia mgajari pengikut-pengikutnya agar berdo’a kepada bapak mereka yang di surga.
c) Filsafat Hermeneutik
Aliran utama filsafat ketiga pada abad kedua puluh meminjam namanya, dengan alas an yang baik, mengingat sifat mitologis ini. Sebgaiman tugas hermes ialah mengungkapkan makna tersembunyi dari dewa-dewa ke manusia-manusia, filsafat hermeneutik pun berusaha memahami persoalan paling dasar dalam kajian ilmu tentang logika atau filsafat bahasa: bagaimana pemahaman itu sendiri mengambil tempat bilamana kita menafsirkan pesan-pesan ucapan atau tulisan. Filsafat hermeneutic memilik akar yang dalam di kebudayaan barat. Bahkan, Aristoteles sendiri menulis buku berjudul peri hermeneias (tentang interpretasi), walau ini lebih berkenan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar logika daripada dengan persoalan yang saat ini kita kaitkan dengan hermeneutika.
Karya pertama yang berusaha secara praktis obyektif menata prinsip-prinsip penafsiran semacam itu adalah introduction to the correct interpretation of reasonable discourses and book (1742), karya Johann Chladenius (1710-1759). Dengan menetapkan hermeneutika sebagai seni pemorelahan pemahaman pembicaraan secara lengkap (entah ucapan entah tulisan), ia mengsulkan tiga prinsip dasar yang harus selalu diikuti: (1) pembaca harus menangkap gaya atau “genre” pembicara/penulis; (2) aturan logika yang tak bisa berubah dari Aristotelian harus digunakan untuk menagkap makna setiap kalimat; (3) “perspektif” atau “sudut pandang” pembicara/penulis harus ditanamkan di dalam benak, terutama ketika membandingkan laporan yang berbeda tentang peristiwa atau pandangan yang sama.
2. Hubungan bahasa dan pengetahuan bahasa
Relasi antara hubungan bahasa dan pengetahuan bahasa dapat dikatakan sebagai hubungan kausalitas. Dan di dalam perkembangannya, bahasa sudah dijadikan obyek menarik bagi perenungan, pembahasan dan penelitian dunia filsafat. Selai bahasa mempunyai daya tarik tersendiri, ia juga memiliki kelemahan sehubungan dengan fungsi dan perannya yang begitu luas dan kompleks, seperti ia tidak bisa mengetahui dirinya secara tuntas dan sempurna, sehingga filsafatlah yag memberikan pengetahuan pada dirinya.
3. Filsafat dapat dikaji melalui tiga aspek yaitu, epistemology, antologi dan aksiologi.
a) Epsitemologi (asal mula) adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik be¬serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori ko¬herensi, korespondesi pragmatis, dan teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang.
Secara umum dapat difenisikan sebagai lambang. Pengertian lain dari bahasa adalah alat komunikasi yang berupa sistem lambang yang dihasilkan oleh alat ucap pada manusia. Perlu kita ketahui bahwa bahasa terdiri dari kata-kata atau kumpulan kata. Masing-masing mempunyai makna, yaitu, hubungan abstrak antara kata sebagai lambang dengan objek atau konsep yang diwakili Kumpulan kata atau kosa kata itu oleh ahli bahasa disusun secara alfabetis, atau menurut urutan abjad, disertai dengan penjelasan artinya dan kemudian dibukukan menjadi sebuah kamus atau leksikon.
Pada waktu kita berbicara atau menulis, kata-kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak tersusun begitu saja, melainkan mengikuti aturan yang ada. Untuk mengungkapkan gagasan, pikiran atau perasaan, kita harus memilihkata-kata yang tepat dan menyusun kata-kata itu sesuai dengan aturan bahasa. Seperangkat aturan yang mendasari pemakaian bahasa, atau yang kita gunakan sebagai pedoman berbahasa inilah yang disebut Tata bahasa.
Untuk selanjutnya yang berhubungan dengan tata bahasa akan dibahas lebih detail lagi yaitu tentang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan etimologi. Pengertian dari Fonologi ialah bagian tata bahasa yang membahas atau mempelajari bunyi bahasa. Morfologi mempelajari proses pembentukan kata secara gramatikal beserta unsur-unsur dan bentuk-bentuk kata. Sintaksis membicarakan komponen-komponen kalimat dan proses pembentukannya. Bidang ilmu bahasa yang secara khusus menganalisis arti atau makna kata ialah semantik, sedang yang membahas asal-usul bentuk kata adalah etimologi.
b) Ontologikal (Objek atau sasaran) membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis. Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan ke¬yakinannya mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya.
Rizal Mustansyir menyebutkan bahwa objek material filsafat bahasa adalah kefilsafatan atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. Sedangkan objek formal filsafat bahasa menurutnya, ialah pandangan filsafati atau tinjauan secara filsafati.
c) Semantikal / Aksiologi (nilai dan fungsi) meliputi nilai nilai kegunaan yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke¬nyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan. Nilai-nilai kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang ilmuwan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Salah satu aspek penting dari bahasa ialah aspek fungsi bahasa. Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi, bahkan dapat dipandang sebagai fungsi utama bahasa.
4. Ciri-ciri bahasa universal
a) Bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vocal dan konsonan. Misalnya, bahasa Indonesia mempunyai 6 vokal dan 22 konsonan, bahasa arab mempunyai tiga vocal pendek dan tiga vocal panjang serta 28 konsonan (Al-Khuli 1982;321); bahasa Inggris memiliki 16 buah vocal dan 24 konsonan (Al-Khuli 1982: 320).
b) Bahasa mempunyai satuan-satuan bahasa yang bermakna, entah kata, frase, kalimat dan wacana.
5. Para ahli bahasa dan pandangannya terhadap bahasa
a) Ferdinand De Saussure sangat menekankan bahwa tanda-tanda bahasa secara bersama membentuk system; bahwa langue, dengan kata lain berwatak sistematik dan structural. Dengan pandangan terhadap sistematika bahasa ini de Saussure telah menjalankan pengaruh yang dahsyat. Hal ini mengisyaratkan bahwa sistem bahasa bukan saja mengacu pada bahasa oral, namun juga mencakup pada sistem kebahasaan lainnya yang bersangkutan dengan sosio budaya dari kehidupan manusia.
b) Noam Chomsky berpendapat suatu bahasa yang hidup ditandai oleh kreativitas yang dituntut oleh aturan-aturan. Aturan-aturan tata bahasa nyata bertalian dengan tingkah laku kejiwaan, manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat belajar bahasa, Bahasa yang hidup adalah bahasa yang dapat dipakai dalam berpikir.
c) Benyamin Lee dan Sapir hipotesis yang diusungnya adalah struktur bahasa suatu budaya menentukan apa yang orang pikirkan dan lakukan. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan realitas tanpa menggunakan bahasa, dan bahwa bahasa hanya semata-mata digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi tertentu. Hipotesis ini menunjukkan bahwa proses berpikir kita dan cara kita memandang dunia dibentuk oleh struktur gramatika dari bahasa yang kita gunakan.
D. Hubungan Bahasa dengan Filsafat
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa di antara fungsi bahasa ialah sebagai alat untuk mengkomunikasikan suatu gagasan kepada orang lain. Setiap gagasan yang dihasilkan seseorang tidak akan diketahui oleh khalayak manakalah tidak dikomunikasikan melalui bahasa.
Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antarmanusia, tetapi jangan lupa, bahasa pun mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya, bahwa bahasa merupakan aspek terpenting dari kehidupan manusia. Sekelompok manusia atau bangsa yang hidup dalam kurun waktu tertentu tidak akan bias bertahan jika dalam bangsa teresbut tidak ada bahasa. Kearifan Melayu mengatakan : “Bahasa adalah cermin budaya bangsa, hilang budaya maka hilang bangsa”. Jadi bahasa dalah sine qua non, suatu yang mesti ada bagi kebudayaan dan masyarakat manusia.
Karena itu, siapa pun orang akan senantiasa melakukan relasi yang erat dengan bahasa. Seorang filosofi, misalnya, ia akan senantiasa bergantung kepada bahasa. Fakta telah menunjukkan bahwa ungkapan pikiran dan hasil-hasil perenungan filosofis seseorang tidak dapat dilakukan tanpa bahasa. Bagaimanapun alat paling utama dari filsafat adalah bahasa. Tanpa bahasa, seorang filosof (ahli filsafat) tidak mungkin bias mengungkapkan perenungan kefilsafatannya kepada orang lain. Tanpa bantuan bahasa, seseorang tidak akan mengerti tentang buak pikiran kefilsafatan.
Louis O. Katsooff berpendapat bahawa suatu system filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu upaya penyusunan bahasa tersebut. Karena itu filsafat dan bahasa senantiasa akan beriringan, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ia bagaikan gula dengan manisnya. Keduanya memiliki cinta yang sejati, sebuah cinta yang tidak mengetengahkan dimiliki dan memiliki. Hal ini karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem symbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang utama adalah mencari jawab dan makna dari seluruh symbol yang menampakkan diri di alam semesta ini. Bahasa juga adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia symbol-simbol tersebut.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi yang sangat erat, dan sekaligus merupakan hokum kausalitas (sebab musabbab dan akibat) yang tidak dapat ditolak kehadirannya. Sebab itulah seorang filosof (ahli filsafat), baik secara langsung maupun tidak, akan senantiasa menjadikan bahasa sebagai sahabat akrabnya yang tidak akan terpisahkan oleh siapa pun dan dalam kondisi bagaimanapun. Bahkan akhir-akhir ini “bahasa” telah dijadikan sebagai objek yang sangat menarik bagi perenungan, pembahasan dan penelitian dunia filsafat. Hal ini selain bahasa memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan objek penelitian filsafat, ia juga memiliki kelemahan-kelemahan tertentu sehubungan dengan fungsi dan perannya yang begitu luas dan kompleks. Salah satu kelemahannya yaitu tidak mengetahui dirinya secara tuntas dan sempurna, sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri.
Realitas semacam itulah, barangkali yang mendorong para filosof dari tradisi realisme di Inggris mengalihkan orientasi kajian kefilsafatannya pada analisis bahasa seperti yang telah dilakukan oleh George More (1873-1958), Bertrand Russel (1872-1970), Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Alfref Ayer (1910- ), dan yang lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok ini sering dikelompokkan sebagai aliran baru dalam filsafat, yaitu aliran filsafat analisis bahasa atau filsafat analitis.
Sebagaimana dijelaskan bahwa filsafat bahasa bahasa adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat bahasa, sebab, asal, dan hukumnya. Hubungan bahasa dengan filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf bahkan sejak zaman Yunani. Para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa.

E. Kelemahan-kelamahan Bahasa
Karena fungsi dan peranan bahasa begitu luas dan kompleks bagi kehidupan umat manusia, maka kita akan diperhadapkan pada kesulitan yang sangat berarti mengenai bahasa. Kesulita itu ialah, bahasa bahasa dalam realitasnya memiliki kelemahan-kelamahan. Kelemahan-kelamahan itu ditimbulkan oleh si pemakai bahasa atau kelemahan yang timbul dari diri bahasa itu sendiri.
Diantar a kelemahan-kelemahan dari bahasa itu akan diurai dalam pembahasan berikut ini :
Pertama, bahasa sebagai suatu system symbol ternyata tidak dapat mengungkap seluruh realitas yang ada di dunia ini. Ketidakmampuannya itu karena realitas-realitas itu pada dasarnya merupakan symbol-simbol yang mesti diberi makna. Juga seperti yang diungkapkan Wittgenstein, bahwa karena bahasa merupakan gambar dunia, subjek yang menggunakan bahasa tidak termasuk menggambarkan dunia. Seperti mata tidak dapat diarahkan kepada dirinya sendiri, demikian juga subjek yang menggunakan bahasa tidak dapat mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri.
Kedua, bahasa ketika digunakan oleh pengguna bahasa seringkali memiliki kecendrungan emosional dan tidak terarah. Meskipun bahasa digunakan dalam konteks ilmiah. Kita sering mengemukakan kata-kata (bahasa) yang digunakan dalam perdebatan ilmiah kurang mengandung arti yang pasti dan rasional yang dapat berakibat timbulnya tidak masuk akal, terutama apabila suatu argument tergantung pada rangsang emosi dan tidak memberikan informasi yang logis.
Ketiga, sering dijumpai ungkapan-ungkapan bahasa dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan tertentu, seperti kepentingan kampanye politik, ras, suku, doktrin ajaran tertentu, dan lain-lain. Dalam ilmu bahasa peristiwa itu lazim disebut dengan istilah “eufemisme” bahasa, yaitu ungkapan yang lebih luas sebagai pengganti yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan, misalnya kata “meninggal dunia” untuk mati, wanita untuk “perempuan”, ”kupu-kupu malam” untuk “wanita pelacur”, dan “tuna wisma” untuk orang yang tidak memiliki tempat tinggal.
Keempat, suatuu ungkapan bahasa sering dijumpai menibulkan arti ganda, karena tidak semua ungkapan bahasa mampu melukiskan satu arti. Kegandaan arti tersebut biasanya ditimbulkan oleh istilah-istilah yang goyah atau lemah rumusan atau masalahnya.
Kelima, ungkapan bahasa sering juga menimbulkan banyak arti atau arti yang sama. Penggunaan istilah untuk lebih dari satu arti, sementara kesan yang diberikan untuk mengatakan hanya satu arti yang sama dalam perdebatan. Kekeliruan atau kelemahan tadi adalah akibat dari anggapan yang salah bahwa kata itu digunakan sepanjang diskusi tertnetu untuk memberikan arti yang tunggal.
Keenam, bahasa tidak selamanya mampu memberikan respon, seperti selama ini dianggap sebagian besar orang bahwa ungkapan-ungkapan bahasa yang dilontarkan akan senantiasa memebrikan respons sesuai dengan keinginan si pemakai. Tetapi dalam kenyataannya sering uangkapan-ungkapan bahasayang dilontarkan oleh si pemakai tidak memberikan respons sebagaimana yang diinginkan. Seorang perjaka, misalnya, ia menegur seorang gadis cantik yang selama ini ia idam-idamkan. Tetapi karena kgadis terebut tidak mencintainya, maka teguran dan sapaan tidak direspons sesuai dengan yang diharapkan. Bagi si perjaka mungkin sapaan tersebut merupakan ungkapan rasa cinta, tapi bagi si gadis ungkapan itu dianggap teguran biasa disamping jalan.
Ketujuh, anggapan bahwa setiap ide yang akan diungkapkan oleh pemakai bahasa itu ada kata atau istilah yang tersedia. Mereka yang berpandangan seperti ini, mengidentifikasikan arti sebuah istilah atau ungkangapn dengan ide-ide yang menimbulkan dan juga ditimbulkan oleh ungkapan atau istilah tersebut. Padahal dalam ungkapan sehari-hari kita sering menjumpai ungkapan-ungkapan atau kata-kata yang tidak ditimbulkan oleh ide apapun. Misalnya, ungkapan penghubung “yang”, ungkapa pengandaian “jika” “dan yang lainnya (kata-kata semacam itu dinamakan syntegorematic), yaitu kata-kata yang tidak dapat dikatakan timbul ole hide-ide tertentu.
Kedelapan, banyak orang yang beranggapan bahwa setiap kata yang diungkapkan itu me-refer atau mengacu kepada suatu objek yang konkrit, empiric, dan dapat dibuktikan secara empiric. Padahal banyak kata-kata yang dijumpai dalam kehidupan kita sehari-hari yang tidak mengacu kepada objek yang konkrit ada di dunia. Misalnya, ungkapan kata “al- jannah” (surga) dan “al-nar” (neraka) yang diambil dari untaian firman Tuhan dalam kitab suci. Kata-kata ini susah untuk dibuktikan sebagai sesuatu ungkapan yang mengacu kepada dunia konkri. Bahkan mungkin untuk sebagian orang yang tidak mempercayainya ungkapan-ungkapan itu hanyalah ungkapan kosong yang tidak mengandung makna apapun.
Demikianlah beberapa kelemahan dalam bahasa (bahasa manusia) yang dapat dijelaskan dalam pasal ini. Saya yakin masih banyak kelemahan-kelamahan lainnya yang belum bias diungkapkan dalam tulisan ini. Kelemahan-kelemahan itu sebenarnya bias dibatasi oleh si pemakai bahasa itu sendiri.


F. Fungsi Filsafat terhadap Bahasa
Kita pada maklu bahwa kerja filsafat adalah dimulai dari suatu peranyataan kritis tantang sesuatu realitas yang tidak hanya mempertanyakan tentang dunia yang konkrit, tetapi juga sebagian realitas yang oleh sebagian orang dianggap tabu untuk dipertanyakan. Bagi filsafat seluruh realitas adalah layak untuk dipertanyakan.. bagi filsafat pertanyaan itu bukanlah sekedar bertanya, tapi diharapkan berupa pertanyaan yang kritis tentang apa saj.
Kemudian, untuk apa pertanyaan itu diajukan? Ya tentu saja untuk mencari jawaban dari pertanyaan teresbut. “Filsafat harus mengkritik pertanyaan-pertanyaan yang tidak mamadai dan haru ikut mencari jawaban yang benar”, kata Franz Magnis-Suseno. Atau seperti kata Robert Spaemann : ”Yang baik tidak dapat terletak dalm pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban”. Itu sudah menjadi pertanyaan para filosof tempo dulu, dari Socrates sampai Ibnu Rusd dari Andalusia.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa masalah kebahasaan yang memerlukan analisis atau kerja filsafat dalam memahami dan memecahkannnya, antara lain :
1. Masalah “bahasa’ pertama dan mendasar adalah apa hakikat bahasa itu ? mengapa bahasa itu harus ada pada manusia dan merupakan cirri utama manusia. Apa pula hakikat manusia itu, dan bagaimana hubungan antara “bahasa” dan “manusia” itu.
2. Apakah perbedaan utama antara “bahasa” manusia dan bahasa di luar manusia, seperti bahasa binatang dan atau bahasa makhluk lain. Apa persamaannya dan apa pula perbedaannya.
3. Apa yang dimaksud dengan bahasa yang bermakna dan bahasa yang benar itu. Apa pula criteria kebenaran bahasa itu. Apakah betul bahasa kitab suci bukan suatu bahasa yang tidak bermakna. Criteria apa dari kebenaran bahasa kitab suci itu?
4. Apa hubungan antara bahasa dan akal, dan juga apa hubungannya antara bahasa dengan hati, intuisi dan fenomena batin manusia lainnya.
5. Bisakah manusia berhubungan dengan bahasa-bahasa di luar manusia. Bahasa apa yang digunakannya, dan bagaimana kita mempelajarinya.

Problem-problem tersebut, merupakan sebagian dari contoh-contoh problematika kebahasaan, yang dalam pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran yang dalam dan sistematis atau analisis filsafat.
Agar ada sedikit gambaran, berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai hubungan fungsional antara bahasa dan filsafat. Daiantaranya adalah sebagai berikut :
1) Filsafat, dalam arti analisis filsafat merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para filosof dan ahli filsafat dalam memecahkan , seperti mengenai apakah hakikat bahasa itu, atau pernyataan dan ungkapan bahasa yang bagaimana yang dapat dikategorikan ungkapan bahasa bermakna dan tidak bermakna.
2) Filsafat, dalam arti pandangan atau aliran tertentu terhadap suatu realitas, misalnya filsafat idealism, rasionalisme, realism, filsafat analitif, Neo-Posotovisme, strukturalisme, posmodernisme, dan sebagainya, akan mewarnai pula pandangan para ahli bahasa dalam mengembangkan teori-teorinya. Aliran filsafat tertentu akan mempengaruhi dan memberikan bentuk serta corak tertentu terhadap teori-teori kebahasaan yang telah dikembangkan para ahli ilmu bahasa atas dasar aliran filsafat tersebut. Sebut saja “Sausurian”, adalah suatu aliran linguistic dan ilmu sastra yang dikembangkan di atas bangunan filsafat strukturalisme Ferdinand de Saussure.
3) Filsafat, juga berfungsi member arah agar teorai kebahasaan yang telah dikembangkan para ahli ilmu bahasa, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, memiliki relevansi dan realitas kehidupan ummat manusia.
4) Filsafat, termasuk juga filsafat bahasa, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori kebahasan menjadi ilmu bahasa (linguistic) atau ilmu sastra. Suatu teori kebahasaan yang dikembangkan oleh suatu aliran filsafat tertentu, akan menghasilkan forma aliran ilmu bahasa tertentu pula. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu kebahasaan secara berkelanjutan.

Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa filsafat memiliki fungsi yang sangat luas dan berharga bagi pengembangan ilmu bahasa maupun bahasa itu sendiri. Fakta sejarah menginformasikan kepada kita bahwa teradapat hubungan yang erat antara bahasa dan filsafat. Diberitakan pula bahwa ajaran dan metode tertentu dari suatu aliran filsafat telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap perkembangan bahasa. Salah satunya adalah ajaran Ariestoteles tentang 10 kategori yang telah diadopsi oleh para ahli baha menjadi 10 jenis kata, seperti kata benda, kata kerja, kata sifat, dan yang lainnya. Begitu juga mengenai logika induksi dan deduksi telah dijadikan sebagai standar kebenaran suatu ungkapan bahasa yang diwujudkan dalam bentu-bentuk kalimat.

G. Peranan Filsafat Bahasa dalam Pengembangan Bahasa
Kegunaan (peranan) filsafat bahasa itu sangat penting pada pengembangan ilmu bahasa karena filsafat bahasa itu adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakekat bahasa, sebab, asal, dan hukumnya. Jadi pengetahuan dan penyelidikan itu terfokus kepada hakekat bahasa, juga sudah termasuk perkembangannya. Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa meliputi tiga aliran yang pokok yaitu atomisme logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa. Aliran filsafat bahasa biasa inilah yang memiliki bentuk yang paling kuat bilamana dibandingkan dengan aliran yang lain, dan memiliki pengaruh yang sangat luas, baik di Inggris, Jerman dan Perancis maupun di Amerika. Aliran ini dipelopori oleh Wittgenstein. Aliran filsafat bahasa biasa juga mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain :
1. Kekaburan makna
2. Bergantung pada konteks
3. Penuh dengan emosi
4. Menyesatkan
Untuk mengatasi kelemahan dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Kelompok filsuf ini adalah Bertrand Russell.
Menurut kelompok filsuf ini tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari ini. Dengan suatu kerangka bahasa yang sedemikian itu kita dapat memahami dan mengerti tentang hakikat fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan dasar tentang struktur metafisis dan realitas kenyataan dunia yang menjadi perhatian yang terpenting adalah usaha untuk membangun dan memperbaharui bahasa itu membuktikan bahwa perhatian filsafat itu memang berkenaan dengan konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya. Sebagai suatu bidang filsafat khusus, filsafat bahasa mempunyai kekhususannya, yaitu masalah yang dibahas berkenaan dengan bahasa. Jadi peranan filsafat bahasa jelas sangat penting, atau berpengaruh terhadap pengembangan ilmu bahasa. Namun berbeda dengan ilmu bahasa atau lingkungan yang membahas ucapan tata bahasa, dan kosa kata, filsafat bahasa lebih berkenaan dengan arti kata atau arti bahasa (semantik). Masalah pokok yang dibahas dalam filsafat bahasa lebih berkenaan dengan bagaimana suatu ungkapan bahasa itu mempunyai arti, sehingga analisa filsafat tidak lagi dimengerti atau tidak lagi dianggap harus didasarkan pada logika teknis, baik logika formal maupun matematik, tetapi berfilsafat didasarkan pada penggunaan bahasa biasa. o1eh karena itu mempelajari bahasa biasa menjadi syarat mutlak bila ingin membicarakan masalah-masalah filsafat, karena bahasa merupakan alat dasar dan utama untuk berfilsafat.
Di dalam pengembangan bahasa banyak ditemui kata-kata yang bersinonim, ini membuktikan bahwa bahasa itu berkembang sehingga banyak kata yang bersinonim. Begitu juga akibat perkembangan bahasa itu timbul kata-kata baru, yang singkat dan tepat, dan mewakili kata-kata yang panjang, seperti kata canggih, dahulu kata canggih belum ada, sekarang timbul dan mewakili kata-kata yang panjang. Cukup kita mengatakan canggih saja, di dalam dunia modern, masa kini. Selanjutnya kata rekayasa, dahulu kata rekayasa. tidak ditemukan, sekarang timbul untuk mewakili kata-kata yang panjang yaitu penerapan kaidah-kaidah ilmu seperti perancangan, membangun, pembuatan konstruksi. Selanjutnya kata monitor atau memantau dahulu kata monitor (memantau) belum ada, sekarang timbul dan mewakili kata-kata yang panjang, yaitu mengawasi, mengamati, mengontrol, mencek dengan cermat, terutama untuk tujuan khusus.

BAB III

PENUTUP


Simpulan
Berdasarkan pemaparan dari bab pembahasan diatas maka adapun yang dapat ditarik sebagai kesimpulan pada halaman ini yaitu :
Pengertian bahasa menurut beberapa ahli :
1. Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1)
- Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
- bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
2. Owen dalam Stiawan (2006:1)
Bahasa adalah sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan.
3. Tarigan (1989:4)
- Bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif.
- bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
4. Menurut Santoso (1990:1)
Bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.


5. Mackey (1986:12)
Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem.
6. Menurut Wibowo (2001:3)
Bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
7. Walija (1996:4)
Bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain.
8. Syamsuddin (1986:2)
- Bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi.
- Bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
9. Pengabean (1981:5)
Bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf.
10. Soejono (1983:01)
Bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.
Esensi Bahasa ditinjau dari segi Filsafat
1. Bidang-bidang khusus yang dikaji dalam filsafat bahasa
d) Filsafat Analitik
e) Filsafat Sintetik
f) Filsafat Hermeneutik
2. Hubungan bahasa dan pengetahuan bahasa
3. Filsafat dapat dikaji melalui tiga aspek yaitu, epistemology, antologi dan aksiologi.
4. Ciri-ciri bahasa universal
5. Para ahli bahasa dan pandangannya terhadap bahasa




DAFTAR PUSTAKA

Ambary, Abdullah. 1986. Intisari Tata Bahasa Indonesia. Bandung: Djatnika.

Santoso, Kusno Budi.1990.Problematika Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.

Syamsuddin, A.R. 1986. Sanggar Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka Jakarta.

Pangabean, Maruli. 1981. Bahasa Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: Gramedia.

Walija. 1996. Bahasa Indonesia dalam Perbincangan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.

Wibowo, Wahyu. 2001. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia. Ahmad Asep.2006. Filsafat Bahasa. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Slametmuljana. Prof. Dr. 1982. Asal usul Bahasa dan Bahasa Nusantara Jakarta: Balai Pustaka.

Abidin Zainal.2000. Filsafat Manusia. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

S. Suriasumantri. Jujun.2007. Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer).Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Surajiyo,Drs.2007. Filasafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

TENTANG PENYUSUN


MUHSYANUR, S.Pd Lahir di Doping Lama Desa Benteng Kecamatan Penrang Kabupaten Wajo pada tanggal 22 Agustus 1985, adalah anak ke I dari tiga bersaudara pasangan suami-istri Muhammad Syahrir dan Hj. Besse Nur Afiah. Menempuh pendidikan formal di SDN 310 Doping Lama Desa Benteng Kec. Penrang Kab. Wajo 1992-199, MTs Putera I As'adiyah Pusat Sengkang Kab. Wajo 1998-200, Madrasah Aliyah Putera As'adiyah Pusat Sengkang Kampus II Macanang Kec. Majauleng Kab. Wajo 2001-2004, Pendidikan Guru Sekolah Dasar Islam (PGSDI) STAI As'adiyah Sengkang Kab. Wajo 2004-2006 (Diploma II), Aplikasi Komputer dan Sekretaris Eksekutif (AKSE) Profesi 1 Tahun pada Lembaga Pendidikan dan Keterampilan "WAJO COMPUTER CENTRE" (WCC) Sengkang Kab. Wajo 2006, S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Puangrimaggalatung Sengkang Kab. Wajo 2009, dan saat ini ia menempuh pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar dengan program studi Pendidikan Bahasa Indonesia 2010- sekarang. Selain dari itu penulis juga aktif diberbagai organisasi seperti, Ikatan Santri Pelajar As’adiyah - Wajo (ISPA- WAJO), Kesatuan Pelajar Mahasiswa As’adiyah - Bone (KEPMA- BONE), Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Wajo, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Wajo, Gerakan Pramuka Racana STAI As’adiyah & STKIP Puangrimaggalatung Sengkang Kab. Wajo, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAI As’adiyah Sengkang Kab. Wajo, SENAT Wajo Computer Centre (WCC) AKSE X, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STKIP Yayasan Perguruan Puangrimaggalatung Sengkang Kab. Wajo, Himpunan Mahasiswa Pecinta Sastra “GERBANG SASTRA” STKIP Yayasan Perguruan Puangrimaggalatung Sengkang Kab. Wajo, Association Of Sulawesi Students (ASSET) Sulawesi – Pare Kediri Jawa Timur, dan Ikatan Pemuda dan Remaja Masjid (IPREMAS) Daarussalam Doping Lama Desa Benteng Kec. Penrang Kab. Wajo.